“Bon, besok maen ke rumah Leo yu?”, Farhan mengajakku. Bermain ke rumah Leo adalah hal yang sangat aku hindari karena menurutku rumah Leo itu berhantu. Suasana di dalam rumahnya sangat tidak nyaman, aku merasakan ada hal yang aneh di rumahnya. Sepi dan semua bangunannya nampak tua yang membuat aku tidak bisa tidur jika menginap di rumah Leo.
“Ah mau ngapain maen ke rumah Leo?”, tanyaku. “Besok kan malam minggu dan kebetulan kita ada tugas kelompok bareng Leo, gimana kalo kita ngerjainnya di rumah Leo sambil nginep, kata Leo besok keluarganya gak ada”. Sebenarnya aku tidak ingin mengikuti saran Farhan untuk menginap di rumah Leo. Namun jika aku menolak tawaran Farhan dan Leo nanti mereka bisa tersinggung dengan alasanku tidak ingin menginap di rumah Leo. Ini demi tugas, aku harus menjalankannya walau terpaksa. Karena jika mereka menginap di rumahku pekerjaan kelompok tidak akan selesai karena di rumahku sangatlah ramai, begitu pula di rumah Farhan banyak sekali anak kecil. Dan rumah Leo adalah alternatif terbaik untuk mengerjakan tugas sambil bermalam minggu. Aku sempat cerita kepada Farhan tentang ketakutanku berada di rumah Leo namun Farhan tidak mempedulikannya karena ia sama sekali tidak percaya akan hal-hal yang berbau mistis.
Hari Sabtu pun telah tiba, mau tidak mau aku harus mengemas barang dan bajuku untuk menginap di rumah Leo sepulang sekolah. “Bon, kamu mau kan nginep di rumahku sama Farhan?”, tanya Leo. Aku pun mengangguk tanda setuju. Sepertinya Leo sangat senang bisa mengajakku dan Faran menginap di rumahnya mengingat hari ini keluarganya akan pergi ke luar kota untuk menghadiri acara pernikahan. Dan kedua orangtua Leo menyuruh Leo untuk menjaga rumah dan mengajak teman untuk menginap di rumahnya.
Sekitar jam 3 aku pun pulang dari sekolah dan langsung menuju rumah untuk berganti baju dan membawa barang-barang yang akan aku bawa ke rumah Leo. Aku dan Farhan menuju rumah Leo menggunakan sepeda motor. Leo sudah menunggu kami di rumahnya. Jam setengah lima sore aku dan Farhan baru sampai di rumah Leo. Dan benar, baru saja aku sampai di rumah Leo hatiku merasa tidak nyaman karena melihat kondisi rumah Leo yang sangat sepi karena jauh dari keramaian. Rumahnya dikelilingi pohon-pohon besar, jarak antar rumah pun cukup berjauhan. Untuk menuju warung pun butuh waktu 20 menit jika berjalan kaki dan harus melewati kuburan-kuburan tua yang terlihat begitu menyeramkan. Ah aku lupakan semua itu karena niatku kesini adalah untuk bekerja kelompok bukan untuk menguji nyaliku. Di dalam rumah, Leo sudah menyiapkan makanan untukku dan Farhan. Farhan yang doyan makan pun langsung menyerbunya dan aku pun tidak mau kalah kalau ada makanan gratis. Untuk soal makanan, Leo memang jagonya. “Bon, kenapa muka kamu kaya yang ketakutan gitu? Suasana rumahnya horror ya hahaha..”, tegur Leo. “Gak papa Le, mungkin aku cuma kecapean aja, ah kamu jangan ngomong gitu dong Le”, jawabku dengan sedikit gugup mendengar guyonan Leo. Sementara Farhan hanya tertawa melihatku yang seperti ketakutan seperti biasanya.
Hari sudah semakin sore, dan langit pun sedikit mendung nampak hujan akan segera turun. Ah jika hujan turun bisa-bisa suasananya bisa semakin horror. Semoga hujan tidak turun, karena aku tidak menginginkannya. Tetapi Leo sangat senang jika suasana rumahnya semakin gelap karena ia sangat suka dengan hal mistik, dan aku pun berusaha untuk mengabaikannya. Dan benar saja hujan telah turun, semua gorden ditutup Leo rapat-rapat, penerangan pun hanya sebatas lampu yang tidak begitu terang. Ini yang membuatku tidak begitu nyaman berada di rumah Leo karena lampu rumahnya tidak begitu terang, Leo hanya menggunakan bohlam berwarna orange seperti warna lampu minyak. Sementara di rumahku sangatlah terang menggunakan lampu yang cukup mahal.
Jam 7 malam kami memulai melaksanakan tugas kelompok sambil menyemil makanan. Untungnya di rumah ini ada televisi, kalau tidak aku akan semakin stress berada di rumah Leo yang cukup tua ini. Aku berinisiatif sendiri untuk menyalakan televisi karena bersama Leo dan Farhan aku sudah terbiasa bersama jadi tidak perlu izin. Tetapi ketika aku menyalakan televisi Leo malah memarahiku karena jika mengerjakan tugas sambil menonton akan mengganggu konsentrasi, Farhan pun sependapat dengan Leo. Terpaksa aku pun harus mematikan televisinya walau banyak sekali acara yang seru di malam minggu.
“Wah sepertinya kita membutuhkan karton tambahan untuk menempelkan bagian yang ini, kita harus membelinya di warung, tapi salah satu dari kita harus menjaga rumah ini”, sahut Leo. Aku berdoa jangan sampai aku yang harus menunggu rumah ini. “Biarkan Farhan saja yang menunggu rumah ini, aku akan mengantarmu ke warung Le”, pintaku. Farhan tidak setuju, menurutnya aku harus menjaga rumah sambil mengerjakan tugas untuk menggambar objek karena itu merupakan keahlianku sambil menunggu mereka sampai rumah agar pekerjaan kelompok itu cepat selesai. Sepertinya Farhan hanya beralasan saja, aku yakin pasti Farhan juga takut jika harus menunggu rumah ini sendirian. Dan sialnya Leo sependapat dengan Farhan, aku pun kembali menjadi korban. Aku harus menunggu rumah itu sendirian yang dikelilingi banyak pohon dan jauh dari rumah lainnya. Mimpi apa aku semalam. Tapi aku tidak boleh takut, aku harus berani, aku harus melawan rasa takutku. Ini demi tugas. Tak lama setelah itu, Leo dan Farhan pun menuju warung dengan berjalan kaki karena jalannya masih licin jika harus menggunakan motor.
Aku pun memulai tugasku untuk menggambar objek yang nantinya akan ditempel di karton yang sedang dibeli Leo dan Farhan. Untuk melawan rasa takutku, aku kembali menyalakan televisi untuk menonton acara di malam minggu ini yang seru. Awalnya aku merasa biasa-biasa saja tapi lama kelamaan aku mulai merasa merinding. Aku merasa ada suara di kamar mandi, apa itu suara hujan. Padahal hujan sudah reda dari tadi, tapi aku berusaha untuk berpikir positif dan mencoba untuk megecek ke kamar mandi kebetulan aku ingin membuang air kecil. Ternyata suara itu hanya suara air bak yang sudah terlalu penuh terisi air, ternyata dugaanku benar tidak ada yang aneh.
Ketika aku kembali ke ruang tamu, aku terkejut dengan televisi yang sudah mati. Padahal aku belum mematikannya, sial siapa yang mematikan televisi Leo. Apa mungkin aku lupa, apa aku sudah mematikannya sebelum pergi ke kamar mandi. Keringat dinginku mulai mengucur, sementara Leo dan Farhan pasti masih dalam perjalanan. Aku mencoba untuk menyalakan televisi kembali. Baru lima menit menonton, televisinya sudah mati lagi. Kali ini aku yang melihatnya sendiri bahwa televisi itu mati sendiri tanpa aku mematikannya. Tapi aku berpikir jika televisi Leo sudah rusak karena sudah terlalu tua. Aku harus tetap berpikir positif.
Ketika sedang asyik menggambar objek, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku lega, pasti Leo dan Farhan telah datang dari warung. Aku pun segera membuka pintunya, namun tidak ada siapa-siapa. Nampaknya mereka mengerjaiku, aku pun mencari Leo dan Farhan di sekitar luar rumah, namun mereka benar-benar tidak ada. Lalu siapa yang mengetuk pintu, apa mungkin itu hanya halusinasiku saja. Tubuhku sudah terlalu basah karena keringat yang semakin mengucur karena ketakutanku. Mana Leo dan Farhan belum juga datang, aku semakin tidak karuan dan tidak fokus mengerjakan tugasku. Dan tak lama kemudian mereka pun akhirnya datang juga, kali ini mereka benar-benar datang. Aku sangat lega dengan kedatangan mereka, namun aku tidak langsung menceritakan semua kejadian tadi kepada mereka takut mereka tidak percaya dan hanya akan membuat suasana menjadi tidak nyaman. Kami pun melanjutkan pekerjaan kelompok yang masih menumpuk.
Pekerjaan kelompok kami baru selesai sekitar jam satu malam karena kami kebanyakan bercanda sehingga banyak waktu yang terbuang. Setelah meyelesaikan semua tugas kelompok, kami pun segera tertidur. Leo dan Farhan sangat cepat tidurnya, sementara aku sulit sekali untuk bisa tertidur karena masih mengingat kejadian tadi yang membuatku semakin ketakutan berada di rumah ini. Jika aku pulang itu semua tidak memungkinkan mengingat waktu yang sudah semakin larut malam. Mana berani aku pulang sendirian malam-malam begini melewati banyak pepohonan.
Leo dan Farhan sudah satu jam tertidur, sementara aku semakin mengeluarkan keringat dinginku ketika aku mendengar suara klakson motorku diluar. Aku menutup tubuhku dengan selimut saking terkejut dan ketakutannya aku. Aku berusaha membangunkan Leo dan Farhan, namun tidur mereka sangat nyenyak sekali sehingga aku tidak bisa membangunkannya. Aku pun mencoba untuk berdoa semampuku karena aku tidak begitu mahir dalam soal agama, namun dengan surat-surat pendek yang aku hafal walau terbata-bata semua itu bisa membuatku lebih tenang. Setelah itu aku pun bisa tertidur sekitar jam tiga dini hari.
Jam 7 pagi aku baru terbangun bersama Leo dan Farhan. Saat itu pula aku menceritakan semua kejadian semalam yang aku alami kepada Leo dan Farhan. Leo hanya tersenyum dan mengatakan kepadaku bahwa hal itu adalah hal yang biasa Leo alami di rumahnya. Leo menjelaskan kepadaku bahwa mereka hanya ingin menyapaku karena aku merupakan pendatang baru di rumah Leo. Farhan pun sebenarnya pernah mengalami ini ketika menginap di rumah Leo beberapa bulan lalu, namun tidak menceritakannya kepadaku. Farhan tidak peduli dengan hal yang seperti itu. Leo menyarankan aku untuk berdoa jika merasa terganggu, dan aku pun lupa akan hal itu sampai-sampai aku baru berdoa beberapa jam kemudian setelah kejanggalan itu. Dan ini semua menjadi bahan pelajaran bagiku, itu semua cukup menantang namun cukup mengajarkanku tentang dunia berbeda dengan kita. Yang terpenting kita harus tetap berdoa dan dekat kepada Tuhan. Dan mulai saat itu juga aku tidak mau lagi menginap di rumah Leo haha, bukan karena apa-apa, tapi suasana rumahnya itu yang sangat menyeramkan haha.
Tamat
Leave a Reply