Waru Doyong

Waru Doyong

Sore hari sekitar pukul setengah lima, hujan turun sangat deras. Aku yang baru saja selesai kuliah terpaksa harus berteduh dan menunggu hujan reda, karena kebetulan aku lupa membawa jas hujan.
Aku berteduh di depan salah satu ruang kelas bersama Delia, salah satu temanku. Kami duduk di kursi yang terdapat di depan ruang kelas tersebut.

“wah kayaknya hujannya makin deras ga”, ucap Delia, hujan memang malah turun semakin deras, langit pun perlahan semakin gelap padam.
“iya del, gimana dong?”, tanyaku padanya.
“yaa mau gimana lagi..”, jawabnya.

Tak lama kemudian perkuliahan yang berada di ruang kelas tersebut selesai, para mahasiswa dan mahasiswi pun keluar dari ruangan. Aku dapat mendengar dan merasakan keluhan Mereka saat mereka mengetahui ternyata hujan turun sangat deras.. Sama seperti aku dan Delia, mereka akhirnya terpaksa menunggu hujan reda.

Sebenarnya dari tadi Aku dan Delia tidak banyak bicara, meskipun kami adalah teman sekelas, tapi kami tidak terlalu akrab, malah situasi canggung yang tercipta diantara kami.. Delia sibuk memainkan hp, mungkin dia juga merasakan awkward moment sama sepertiku. Daripada aku diam saja, mending aku juga main hp. Aku membuka facebook dan menemukan sebuah artikel tentang, “waru doyong”, karena penasaran, aku pun membaca artikel tersebut.

Di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa yang disebut Waru doyong adalah pohon waru yang tumbuh menyamping, dan tidak seperti pohon waru biasanya yang tumbuh lurus. Waru doyong dipercaya menjadi tempat atau rumah bagi salah satu makhluk halus, yaitu kuntilanak.. Karena bentuknya enak untuk diduduki, maka menjadi tempat nyaman bagi kuntilanak. Ah sial, kebetulan kuntilanak adalah makhluk halus yang paling aku takuti, sejenak bulu kudukku merinding. Entah kenapa meskipun aku merasa sedikit takut, tapi aku malah penasaran dengan artikel tersebut dan ingin membacanya sampai akhir..

Diceritakan di sebuah daerah di jawa timur, bahwa jika ada pohon waru yang terlihat akan tumbuh menyamping, maka warga akan segera menebangnya, supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dan jika terlanjur ada pohon waru yang tumbuh menyamping, maka warga akan menyuruh orang pintar untuk menanganinya, supaya aman.

Aku jadi teringat saat aku sd dulu, di belakang rumahku terdapat sebuah pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun, karena takut nantinya akan roboh dan menimpa rumah, akhirnya warga di sekitar rumahku menebangnya, dimana mereka menebangnya saat bulan puasa dan didampingi oleh orang pintar yang mengiringi penebangan pohon dengan do’a-do’a, alasannya supaya lebih aman.

Aku semakin larut dalam cerita, disebutkan juga bahwa saat ada seseorang yang melewati waru doyong, maka kuntilanak akan mengerjainya dengan melempar ranting atau batu kerikil, sambil diiringi dengan suara tangisan, saat orang yang dikerjai ketakutan, maka suara tangisan akan berubah menjadi suara tawa cekikikan khas kuntilanak yang menyeramkan.

Setelah selesai membaca artikel tersebut, aku menyadari ternyata hujan turun lebih deras, dan disertai dengan suara petir menggelegar, lampu disana juga tidak dinyalakan, mungkin listrik sedang padam. Sejenak aku melihat ke arah Delia, dia terlihat ngantuk,
“kamu ngantuk del?”, tanyaku,
“iya nih ga, hujannya malah tambah deras”, jawabnya resah, aku memperhatikan orang-orang yang juga sedang menunggu hujan, mereka juga tampak kelihatan resah, apalagi waktu semakin mendekati maghrib.
‘untung masih banyak orang, jadi suasananya tidak terlalu mencekam’, pikirku dalam hati. Mungkin karena merasa boring, aku pun akhirnya ngantuk dan… Tertidur di kursi…

“duaaaaarrrrrr…”, suara petir mengejutkanku, membuatku terbangun dari tidur. Aku menggosok-gosok mataku, penglihatanku sangat gelap, kemudian aku menyalakan senter di hp dan panik setelah mengetahui orang-orang yang tadi menunggu hujan reda kini sudah tidak ada, tinggal aku seorang yang tersisa, dan masih terduduk di kursi. Setelah aku melihat jam di hp, waktu menunjukkan pukul 10 malam, aku semakin panik dan memaksakan diri untuk beranjak meskipun hujan masih deras. saat aku akan melangkahkan kaki, aku melihat Delia sedang berdiri melihat hujan, posisinya membelakangiku.

“Delia, kamu masih disini rupanya”, ucapku.
“iya, aku nungguin kamu”, balas Delia masih dengan posisi membelakangiku.
“kenapa kamu tidak membangunkanku?”, tanyaku.
“hujannya belum reda dari tadi”, jawabnya.
“lalu orang-orang yang tadi pada kemana?”, tanyaku lagi,
“sudah pulang”, jawabnya, Delia kemudian membalikkan badannya dan alangkah terkejut saat aku melihat wajahnya sangat pucat, dia melihat ke arahku sambil menangis sesenggukan.

“kamu kenapa? Muka kamu pucat banget”, ucapku khawatir,
“aku takut.. Heu”, balasnya.
“kalo gitu ayo kita pulang!”, ajakku,
“ih hujannya masih deras”, responnya,
Aku membuka kemejaku dan menyerahkannya padanya, kini aku hanya tinggal memakai kaos dan kedinginan,
“nih tutupin kepalamu pakai ini!”, ucapku.
“kamu bagaimana?”, tanyanya.
“gak usah banyak mikir, yang penting sekarang kita pergi dari sini, dan segera ke parkiran”, jawabku. Jarak dari tempat sekarang aku berada menuju parkiran lumayan jauh, sekitar 200 meter.

Aku dan Delia kemudian memaksakan diri berlari menembus hujan untuk sampai di parkiran, tetapi setelah setengah jalan Delia berucap dengan sedikit ngosngosan,
“kuga, kita berteduh dulu ya sebentar! Tuh dibawah pohon itu”,
“ayo”, balasku. Kemudian kami berteduh di sebuah pohon yang lumayan rindang.
Delia masih ngosngosan,

“kamu capek yaa?”, tanyaku. Aku memegang tanganya, dan tangannya terasa dingin sekali, tubuhnya menggigil hebat. Dan sialnya suasana begitu sepi, aku tidak melihat seorang pun yang berjalan di sekitar sini.
“kamu kuat gak kalo kita lanjutin?”, tanggung sedikit lagi”, tawarku.
“a..ku ca..pek”, balas Delia, bibirnya terlihat semakin pucat.

Oh iya aku belum menjelaskan, kampus tempatku kuliah terdiri dari beberapa bangunan, tidak berbentuk gedung.. Jadi wajar saja kami kehujanan saat berlari dari ruang kelas tadi menuju parkiran.

Kemudian aku mencoba menghubungi beberapa temanku yang ngekost di sekitar kampus, tapi tidak ada satu orang pun yang merespon. Aku terkejut saat menyadari Delia sudah tidak berada di sampingku.

“Delia! Kamu dimana?”, tanyaku kebingungan.
“aku disini kuga”, jawab Delia. Ternyata Dia sedang duduk di atas pohon tempat kami berteduh,
“kamu ngapain disana?”, tanyaku.
“aku nyaman duduk disini, pohonnya miring lho”, jawabnya.
‘p..ppppppppppopopohonnya miring?’, tanyaku dalam hati, saat kuperhatikan ternyata pohon tempat kami berteduh adalah Waru doyong.. Aku ketakutan.

“hihihihihihi…” Delia cekikikan.. saat aku melihat ke arahnya, Dia sudah berubah menjadi sosok kuntilanak yang menyeramkan.. Aku kemudian berlari ketakutan, kuntilanak itu terbang mengejarku,
“kugaa sini temani aku hihihihihihihi”, ucap kuntilanak itu sambil cekikikan.
Kemudian kuntilanak itu berhasil meraih pundakku…

“kuga bangun.. Hei kuga”, aku tersentak, ternyata hanya mimpi.
“hmmm kamu ketiduran..”, ucap Delia yang membangunkanku.
“hujannya sudah reda, ayo kita pulang”, ajaknya kemudian.
Aku masih terdiam, tapi beranjak dan melangkahkan kakiku. Orang lain yang sedari tadi sedang menunggu hujan reda pun juga beranjak..
Kemudian terdengar suara adzan maghrib.

“kamu baik-baik saja ga?”, tanya Delia padaku.
“iya del, tapi masih sedikit pusing”, jawabku.

Kemudian aku dan Delia berpisah setelah tiba di parkiran, karena aku dan Delia membawa motor masing-masing.
Sejenak aku terdiam saat duduk di atas motorku,
“huh.. Ternyata hanya mimpi..”, ucapku lega.

Samar-samar dari arah parkiran aku melihat sebuah pohon besar yang tidak asing, itu adalah pohon Waru doyong yang ada di mimpiku, terlihat sekelebat putih melintas di dekat pohon waru doyong itu… Aku bergidik ketakutan, kemudian aku segera menjalankan motorku dan pergi dari kampus…

Tamat


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *