02
Angin dingin yang berhembus kencang membuat seluruh tubuh ini terasa beku. Sepinya suasana membuat aku terpaku seorang diri. Sudah berapa lama aku melangkah, sudah berapa jauh aku berjalan… Hanya suara jangkrik yang kudengar.
Dimana aku… Mengapa aku ada di tempat seperti ini…, aku hanya samar mengingatnya. Aku ingin pulang!
Tiba-tiba tengkukku terasa dingin ketika sesuatu melintas tepat di atas kepalaku. Jantungku serasa berhenti berdetak ketika kulihat sosok menakutkan yang biasanya hanya kulihat dalam film bioskop.
“Hei,… Kau baru ya?”, sapanya dengan suara sengau dan parau. Lebih seram dari yang ada di film. Hampir aku melompat karena takut ketika wajahnya tepat di depan mukaku.
“Hahahaha… Ada yaaa, makhluk halus takut juga sama makhluk halus lainnya!” ujarnya membuatku terpaku.
Makhluk seram itu kembali terbang meninggalkan aku sendiri yang diam mematung dengan tubuh gemetar tak karuan.
Mimpikah aku? Ada apa dengan diriku? Mengapa aku seperti sedang berada di hutan luas tak berujung…?
Airmataku meleleh tanpa terasa. Antara bingung dan takut…, kulanjutkan perjalanan ini. Aku ingin pulang! “Mamah, papah, dimana kalian? Kak Roy, kak Gio… Kalian dimana? Tolong aku…!! Kawan-kawanku, kalian dimana??”
Jalanan ini tak kuketahui. Arah kemana lagi harus kulewati. “Mamaaah!! Papaaah!!! Dimana kalian???”
Aku teriak. Berharap akan datang seseorang yang menolongku. Tapi hanya suara angin yang menggoyangkan dedaunan pohon-pohon sepanjang jalan ini.
Ada lima anak kecil berkepala plontos berlarian melewatiku begitu cepat. Tawanya menyakitkan telinga. Dan mereka pun seolah tak peduli padaku.
Lalu ada sepasang kakek nenek berbaring di pinggir jalan. Tubuh mereka kurus kering hanya tulang terbungkus kulit. Tapi matanya merah menyala menatapku tajam. Aku tercekat. Panas dingin tak karuan.
“Mau kemana kau, Nak?” sapa sang kakek membuatku seperti tersengat listrik. Lidahku kelu, tak dapat bicara. Hanya bibir bergetar dengan airmata berlinang.
Tapi anehnya aku tidak pingsan. Aku hanya merasakan seperti lemas dan ringan. Bahkan langkahku semakin cepat.
Kenapa jalanan ini penuh dengan orang-orang yang terlihat menyeramkan. Ada saja makhluk yang membuat dadaku seperti berhenti bernafas. Dan syukurnya, mereka hanya melintas atau hanya memandangku begitu saja tanpa ada yang mengusikku.
“Mamaaah…!!! Papaaah…!!! Aku takut!!!” rintihku dengan deraian airmata.
“Berisik!!!”
Aku meloncat kaget. Sosok hitam besar menghardikku dari balik pohon besar. Tubuhnya penuh bulu. Aku menundukkan kepala karena takut melihat mukanya yang seram. Ada seorang anak perempuan dibalik ketiaknya.
Langkahku makin cepat. Airmataku semakin deras. Jantungku pun semakin kencang berdetak.
Dimana aku…? Aku jatuh terkulai lemas karena dadaku yang sesak. Suara-suara aneh berbisik, berteriak bernyanyi… Tertawa dan menjerit membuat bulu kudukku semakin meninggi.
Tuhaaaan!!! Tolonglah aku Tuhan…
Sayup-sayup kudengar samar seperti suara orang mengaji. Lantunan ayat suci membuatku agak tenang. Tapi dimana suara itu… Kadang terdengar jelas, kadang menghilang. Terdengar jauh… tapi kadang seperti dekat.
Aku berlari mencari arah suara orang mengaji. Setengah histeris berharap ada seseorang yang mau menolongku. Mengantarku pulang ke rumah. Bertemu mamah, papah dan kakak-kakak lelakiku.
Di ujung jalan kulihat seorang anak perempuan memandangku tak berkedip. Rambutnya yang panjang hampir menyapu jalan mengibas tertiup angin.
Tuhaaaan…!!! Dunia apa ini?? Aku menjerit histeris. Anak itu terus mengikutiku dari belakang.
“Kakak,… jangan panik. Bersyukurlah kakak masih ada yang mengirimkan doa untuk kakak. Aku,… Sudah bertahun-tahun berkeliaran di jalan, tak ada yang mendoakan aku. Aku anak yang dibuang orangtua, Kak! kudengar orangtua kakak mengaji, mengirim doa untuk kakak.”
Anak perempuan itu berkata membuatku terhenyak. Apa maksudnya? Kubalikkan tubuhku kearahnya. Mata nanarnya yang kosong seolah menembus jantungku.
“Kakak ingin pulang? Duduklah dengan tenang. Pejamkan mata kakak. Ingat akan diri kakak, rumah kakak, keluarga kakak… Maka akan sampai kakak pada tujuan kakak!”
Aku menatapnya tak kalah tajam. Kuusap airmataku. Aku ingin pulang! Tak mau terus berkeliaran seperti ini. Kuikuti petunjuknya. Dengan harapan, aku segera pulang.
Kupejamkan mata. Kutenangkan hati. Kubayangkan rumah mungilku yang bersih dan asri. Lalu terlintas wajah mamah yang manis dengan pipi cabi-nya. Wajah papah yang penuh dengan jenggot tipis. Lalu kakak-kakakku yang baik walau kadang jahil. Airmataku kembali mengalir.
Suara orang mengaji seperti ada di depanku. Kubuka mata dan kulihat mereka semua yang tadi kurindukan. Banyak orang di rumahku. Seperti sedang ada selametan. Semua para tamu kebanyakan bapak-bapak tetangga sekitar rumah.
Kulihat mamah tampak kusam. Wajahnya yang bulat terlihat tirus. Sakitkah mamah?… Airmata mamah mengalir seperti aku. Di kumpulan bapak-bapak, kulihat papah. Memakai kopiah hadiah dariku ketika ulang tahunnya sebulan yang lalu. Ada kak Roy, kak Gio… juga ada kak Erin, tunangan kak Roy. Merekapun berlinang air mata.
Tiba-tiba ada seorang ibu menepuk pundakku. Dia menatapku tak percaya. Mata bulatnya seolah hendak melompat keluar.
“Mariska??!?”
Tiba-tiba ibu itu pingsan hingga suasana menjadi gaduh. Beberapa orang berusaha membopongnya membawa ibu itu ke dalam kamar kak Gio.
Lama akhirnya ibu itu siuman. Acara telah selesai. Sebagian orang memilih pulang ke rumah masing-masing, sebagian melanjutkan mengaji Yasin.
Ibu itu terus menatapku tajam. Ia menganggukkan kepala seolah memanggilku untuk mendekat padanya.
Aku mendekatinya. Kulihat orang sekitar memandang si ibu seperti tak mengerti gerakan-gerakannya. Malah ada yang berbisik kalau ibu itu kesurupan.
Aku ceritakan aku dari mana. Seperti air mengalir, ceritaku begitu lancar dan ingat kejadian apa yang telah aku alami.
Aku menangis histeris. Aku tak kuat lagi menceritakan peristiwa apa yang aku alami.
Malam itu aku pulang dari sekolah. Memang tidak seperti biasanya, kali ini aku pulang lewat dari jam 9 malam karena sepulang sekolah jam 5 sore tadi aku ikut Via sahabatku untuk bermain dulu di warnet. Aku memang nakal. Kuakui itu dan kini aku sangat menyesalinya. Sudah seminggu ini mamah marah-marah karena aku suka pulang telat. Bodohnya aku tidak menghiraukan mamah.
Seperti malam itu. Aku pulang jam 9 malam. Sendirian pula. Di suatu jalan yang memang sepi dan terkenal rawan, ada beberapa pemuda mabuk berlawanan arah denganku. Awalnya aku melangkah cepat dengan sikap cuek. Karena kupikir orang mabuk didorong saja pasti langsung jatuh.
Hingga tiba-tiba seorang dari mereka menarik tanganku dan mendekap erat tubuhku. Aku berontak. Kusikut tubuh baunya hingga aku terlepas. Tapi ternyata beberapa lainnya memegangi tangan dan kakiku. Mereka menyeretku kesemak-semak. Mereka dengan biadabnya merenggut kegadisanku. Bergiliran tanpa rasa iba.
Hingga hujan deras turun, mereka terus melakukan kebiadaban mereka padaku.
Setelah itu, tubuhku dilemparkan ke dalam jurang di sekitaran jalan itu.
Hingga aku jadi seperti ini. Aku tidak tahu ada apa dengan aku. Hidup atau matikah aku…
Airmataku berderai menceritakan kisah pahitku pada ibu tadi. Syukurlah dia mengerti. Walaupun dia hanya diam dengan mata menatapku, tapi airmatanya turut berlinang di pipi keriputnya.
Ibu itu lalu memberitahukan kalau jasadku sudah ketemu. Malam itu juga beberapa orang dari kepolisian dan warga setempat berbondong menuju tempat dimana aku digagahi.
“Alhamdulillah, ini sudah hari ke-17. Anakku Mariska bisa kami semayamkan dengan layak.” gumam papah dengan mata sembab.
Aku menangis. Ingin rasanya memeluk papah, mamah, kakak-kakak lelakiku semua orang yang amat kucintai.
Ini semua kesalahanku, kebodohanku karena tak menurut kata orangtua.
Esok harinya jenazahku dimakamkan di dekat makam nenek buyutku.
Setelah diautopsi semalam untuk mengungkap siapa manusia-manusia dajjal yang telah memperk*saku.
Ada tarikan yang maha kuat membawaku melesat melewati lorong-lorong seperti labirin. Semakin jauh semakin putih. Semakin kurasakan kelegaan. Alhamdulillah, aku sudah pulang. Walau keinginanku pulang ke rumah tak terkabul, setidaknya ada tempat yang harus kusinggahi untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatanku.
Perlahan kasusku terkuak. Satu persatu manusia-manusia biadab itu dijebloskan ke sel tahanan untuk waktu yang lama.
Walaupun wajah orang-orang yang aku sayangi terlihat layu dan sedih karena kehilanganku. Papah, mamah, kak Roy, kak Gio,… Semuanya, maafkan kesalahanku. Maafkan kebodohanku yang tidak menuruti nasehat dan perkataan kalian. Kini aku merasakan, betapa kalian sayang aku. Betapa kalian melindungiku. Hanya akulah yang bodoh, yang baru sadar setelah semua ini terjadi.
TAMAT
Leave a Reply