Kurioritas

Aku tetap berjalan kukuh sambil memeluk diriku sendiri. Jaketku pun bahkan tidak mampu melindungi diriku dari hembusan angin. Sore itu menjelang maghrib. Seluruh anak teater sudah meninggalkan sekolah, kecuali Kak Genggi—bendahara teater. Perempuan manis berambut sebahu dengan postur badannya yang tinggi tegak mampu kukenali dari kejauhan.

Kupanggil dirinya yang jauh membelakangiku. Dia tidak menoleh sama sekali. Tunggu, aku melihatnya perlahan membungkuk dan terduduk sambil memegangi perutnya. Kakiku lari tanpa perintah, berniat menghampirinya. Namun kakiku tiba-tiba terhenti— lemas menyaksikan Kak Genggi hilang bersama asap yang datang begitu cepat.

“KAK??!” pekikku sekali lagi. Memastikan orang tersebut masih berada di sekitarku. Bulu kudukku berdiri. Aku begitu merinding tidak percaya. Apa itu tadi.

‘Gitt…’ suara parau menyusul kepanikanku.
Aku benar-benar tidak ingin menoleh ke belakang. Segera aku melewati mushola, aula dan berniat menuju lobi.

‘Gitriii…’ suara parau itu seakan tidak terasa jauh. Aku memberanikan diri untuk mencari sumber suara.

Mungkin mataku salah melihat. Atau mungkin aku sedang berhalusinasi. Perempuan cantik mengenakan gaun mewah berwarna putih sedang berdiri di hadapanku. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia penduduk Asia. Hidungnya bangir dan rambutnya pirang. Badannya pun tinggi semampai. Parasnya benar-benar cantik. Mata hazel-nya memperkuat bahwa dirinya bukan masyarakat Indonesia seperti diriku. Ya! Dia Belanda. Ini adalah kali pertama aku melihat manusia yang bukan macam diriku.

Tunggu! Apa? Manusia? Hanya sedetik aku mengedipkan mata, wanita itu sudah tidak ada lagi di hadapanku. Kemana dia? Suasana sekolah mulai terasa aneh sekarang. Dengan logika, aku berpikir bahwa mustahil diriku mampu bertemu warga Eropa di halaman sekolah dalam waktu sesingkat itu. Aku mulai menyadari akan suatu hal. Dia ada, namun tidak nyata.

“Hei!” Langkahku terhenti. Seorang satpam menghampiriku.
“I–iya Pak?”
“Menunggu jemputan atau bagaimana? Kenapa masih ada disini? Apa masih ada anak-anak?”
“Eum… Sudah pulang semua, Pak. Saya menunggu Ayah,” paparku.

Tidak lama setelah itu, ayahku tiba menjemputku. Malamnya, aku tidak dapat tidur karena terus memikirkan wanita cantik tadi. Bagaimana bisa aku tidak berlari menyaksikan kejanggalan itu. Anehnya, aku lebih memilih diam lantas tertegun dengan paras cantiknya.

Esoknya setelah pulang sekolah, aku tidak kunjung pulang. Aku mencari tempat duduk di sekitar taman sekolah. Usai kudaratkan pantatku dengan sempurna, lamat-lamat mataku mulai memandangi seluruh penjuru sekolah dari singgasanaku berada. Seluruh siswa masih berlalu lalang dan perlahan mulai menghilang.

Diantara kerumuman tadi, aku melihat sosok wanita Belanda itu muncul kembali. Dia berdiri menatapku dengan datar. Aku mulai menyipitkan mata, memastikan apa yang kulihat tidaklah salah. Wajahnya masih terlihat seperti kemarin sore. Aku menelan salivanku dalam-dalam. Degup cepat jantungku bahkan hampir dapat kurasakan.

Plak! Aku terperanjat ketika kudapati telapak tangan mendarat di pundakku. Hufft! Itu Dira. Kutolehkan kembali kepalaku ke posisi awal, namun mataku kehilangan sosok yang tadi. Dira menatapku khawatir.

“Kamu lihat?” tanyaku padanya
“Hmm… Ya. Aku lihat,” ucapnya dingin lalu duduk di sebelahku.
“Makanya aku menepuk pundakmu. Kamu kelelahan, Git. Kamu harus banyak istirahat. Lelahmu tidak wajar. Kamu terlalu memaksakan diri. Kamu seharusnya tidak dapat melihatnya,” lanjutnya.
“T—tapi…” nafasku masih memburu.
“Apa? Itu kelelahan. Lebih baik kamu beristirahat. Organisasi, ekstrakulikuler, les, apa lagi kegiatanmu? Sebaiknya jangan hadir ke sekolah dulu besok,”
“Hadeuh! Iyaaa. Kok dia menatapku, sih? Dari kemarin sore lho, “ tuturku.
“Ingin bicara dengan kamu,”
“Kenapa kira-kira?”
“Mm… Ngga tau,”

“Boleh kamu bantu aku bicara sama dia?”
“Dia hantu, Git! Kamu sudah gila!? Aku bahkan ingin menjadi kamu,”
“Pliss…” aku memohon kepada Dira.
Dira terdiam cukup lama menatapku,

“Nanti dia jadi akrab dengan kamu. Dia akan membawa yang lain,” jelasnya.
“Janji aku akan merespon seperlunya,” aku mengulurkan kelingkingku pada Dira—temanku yang indigo.
“Hmm… Seperlunya,” balasnya menjabat kelingkingku.

Siang itu aku menyibukkan diri dengan sisa-sisa tugas di lobi sekolah. Aku menunggu guru-guru dan seluruh murid meninggalkan sekolah. Dira masih menemaniku sambil memainkan ponselnya.

“Ra,” panggilku.
“Hm?” Dira dingin dengan tetap menatap ponselnya.
“Aku mau ke kamar mandi sebentar,” pamitku lantas meninggalkan lobi tanpa menunggu balas.

Sore itu aku masih di sekolah hingga pukul 5. Udaranya kembali sedingin kemarin. Langkahku sedikit kuperlambat, berharap aku dapat menemukan Nona Belanda itu. Bukannya bertemu dengannya, aku malah bertemu dengan sosok yang baru. Pria itu tinggi besar, dia tampak seperti pria Belanda. Irisnya kecoklatan. Tentu saja tampan. Dia tidak mendekat kepadaku, jaraknya cukup jauh dari tempatku berdiri.

Sejujurnya aku menyukai pelajaran sejarah. Aku suka ketika Ibu guru menceritakan sejarah Indonesia di masa Belanda. Itu mengapa aku ingin mengorek lebih dalam bagaimana kepribadian mereka.

Aku suka bangunan peninggalan mereka. Aku juga suka cara mereka berpakaian. Satu yang belum aku tahu adalah belum bertemu dengan warganya secara langsung. Hehe. Kecuali jika aku ke Belanda. Namun kurasa tidak harus kesana. Maka dari itu aku menggunakan jalur termudah. Memberanikan diri untuk berbicara kepadanya.

“Selamat sore…” sapaku ragu.
Dia mengangguk lalu menghilang usai aku mengedipkan mata.

Hah?! Hilang lagi? Segera aku berbalik arah, berniat memanggil Dira. Aku terkejut ketika Dira sudah di belakangku.

“Ra?”
“Hm?” tatapnya sinis.
“Ka—kamu lihat?”
“Hm..” jawabnya.
“Udahla, Git. Apa yang kamu cari?? Dia ber-be-da dengan kita!”
“Sekali saja. Sekali. Bantu aku,” aku memohon.
“Setelah itu kita pulang. Dan jangan inginkan dia menemui kamu lagi,”
“Oke oke,” aku girang sekali.

Aku memang belum melihat penjaga sekolah berkeliaran sedari tadi. Namun aku yakin mereka ada di dalam pos satpam. Aku berharap mereka tidak menemukan keberadaanku dan Dira dulu sekarang. Aku masih ingin di sekolah untuk memecahkan rasa ingin tahu ini. Aku melihat Dira memejamkan mata. Tanganku dituntun memegang pundaknya. Demi apa, ini gila. Aku melihat dua orang Belanda itu datang ke hadapan kami dan mereka berbicara. Aku mendengarnya. Suaranya parau dengan Bahasa Indonesia yang kurang fasih.

‘Gitt…’ panggil Si Nona Belanda.
“I—iya? Si—siapa namamu?” aku sangat gugup.
‘Ellyne,’
“Kamu tahu namaku?? Bagaimana bisa?”
‘Kamu sendiri di kelas’ ujar Pria Belanda itu menatapku.
“Hm?”
‘Menulis diary untuk kami,’ imbuh Nona Ellyne.

“Kalian tahu??”
‘Ya, kami tahu…’ ucap laki-laki di sebelah Nona Ellyne.
‘Kamu suka bangsa kami…’ kata Nona Ellyne lagi.
“Mm? Belanda?”
‘Ya…’

“Kenapa kalian disini?”
‘Tempat kami disini, di Indonesia…’
“Menguasai Indonesia?”
‘Tidak. Kami cinta Indonesia…’
‘Orang-orang kamu membunuh kami,’ kata Nona Ellyne masih dingin.
“Mm… Semoga kamu tenang ya,”
‘Terimakasih, Git…’

“Mm… Kamu cantik Nona Ellyne,”
‘Dia kekasih saya,’ timpal pria itu tersenyum. Aku ikut tersenyum.
‘Frodl,’ lanjutnya memperkenalkan nama.
“Gitri. Ini Dira, temanku,” paparku.
‘Kamu bisa mencari kami di balik pohon besar, Git. Kami disana,’ jelas Tuan Frodl mengarahkan tangan ke lorong belakang sekolah.
Aku hanya tersenyum tanpa mengiyakan sedikit pun.

“Tempat terakhir kalian disana?” tanyaku.
‘Ya. Kami buruk. Tidak seperti yang kamu lihat,’
“Kenapa?”
‘Saya tidak memiliki kepala,’ ujar Tuan Frodl membuatku bisu dan tidak tahu harus membalas apa.
‘Ya. Dia mati sebelum saya. Orang-orang kamu memutuskan kepala Frodl,’ sambung Nona Ellyne membuatku makin bisu.
‘Kami akan mengganggu orang-orang yang tidak sopan disini,’ kata Tuan Frodl.

Aku jadi ingat, dua minggu lalu, Feril—teman sekelasku pernah bercerita tentang sosok tanpa kepala. Badannya tinggi besar. Aku yakin itu adalah Tuan Frodl. Pada dasarnya Feril memang tipe anak yang jahil. Gemar berkata sarkas dan suka mengusik ketenangan teman di sekitarnya. Aku juga ingat Feril pernah bermain bunglon di sekitar pohon besar di halaman belakang. Setelah itu dia bercerita tentang manusia tanpa kepala. Bersimbah darah katanya. Tetapi justru teman-teman menjadikan itu lelucon. Tapi aku percaya Feril berkata benar.

“Maafkan temanku Tuan Frodl,” pintaku mewakili Feril.
Tuan Frodl tidak membalas maafku. Ya, memang bukan aku yang salah.

“Mm… Tuan. Boleh aku tahu tentang dirimu?”
“Git!” Dira mencubitku dengan tetap memejamkan mata. Aku mengaduh pelan.
‘Kamu akan menulis kami?’ tanya Nona Ellyne.

Ah! Nona Ellyne bahkan bisa membaca isi pikiranku. Sejujurnya aku ingin sekali menuliskan kisah hidup tentang seseorang yang ku kenal. Aku menyukai dunia sastra. Salah satunya adalah menuliskannya ke dalam sebuah cerita. Tetapi berurusan dengan ‘mereka’ tidaklah mudah layaknya berurusan dengan manusia.

‘Kamu mengundang kami?’
“Maksudnya apa, Ra?” tanyaku berbisik pada Dira.
“Sudahi ya, bego! Kamu terlalu cepat. Mereka bisa menghampiri kamu kapan saja. Dimana pun. Kamu bisa terusik! Bilang saja tidak,” aku segera mengangguk.

Bulu kudukku berdiri sempurna. Hari sudah semakin petang. Aku tidak hanya melihat Tuan Frodl dan Nona Ellyne. Namun melihat sosok-sosok aneh lainnya bermunculan. Seakan memperhatikan kami. Aku khawatir mereka akan mengenaliku dan bahkan mengikutiku.

“Mm… Nona Ellyne, Tuan Frodl. Mungkin hanya sampai disini pertemuanku dengan kalian. Kalian bisa pergi. Terima kasih sudah datang,” aku tersenyum. Mereka membalasnya.
‘Kami pergi,’ pamit Nona Ellyne padaku.
‘Kamu tidak akan melihat kami yang buruk, Gitri.’

Setelah itu mereka menghilang. Dira segera menurunkan tanganku lantas mengantarku pulang. Esok paginya aku tidak hadir ke sekolah. Aku sakit selama tiga hari. Dokter memintaku untuk beristirahat penuh. Empat hari setelah itu, aku kembali ke sekolah.

Badanku terasa ringan. Dan rasa ingin tahuku terhadap Nona Ellyne serta Tuan Frodl perlahan mulai menghilang. Meski begitu, aku tetap dapat melihat mereka selalu tersenyum dari kejauhan—kepadaku. Hanya mereka. Namun aku tidak dapat lagi mendengar suara mereka, meski sedang melewati pohon besar itu. Melihat mereka, rasanya aku terbawa pada masa Belanda di Indonesia. Tanpa perlu ke Negara Kincir Angin, aku sudah dapat menemukan penduduknya di tanah kelahiranku.

Tamat


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *