“Ibu, kenapa mereka mengejekku, Bu? Kenapa mereka nggak mau main denganku? hiks”

Senja itu aku terisak di pangkuan Ibu. Cemooh mereka terekam jelas di benakku. Sakit. Betul kata orang luka hati yang tak terlihat lebih perih dari luka tubuh luar.

“Mereka bilang tidak sudi bermain dengan anak sundel bolong. Mereka juga bilang punggung Ibu berlubang.” kutumpahkan segala sesak di dada.

Bukannya marah, Ibu malah berkata. “Kalau yang dikatakan mereka benar, mana mungkin Ibu keluar siang-siang. Bukankah makhluk seperti itu keluarnya tengah malam? Lagipula kaki Ibu masih menjejak di tanah, Sayang.” Tangan halus Ibu membelai lembut rambut keritingku.

Sejujurnya aku ingin memiliki rambut seperti Ibu. Pajang sepinggang, hitam berkilauan, harum bunga melati, serupa model iklan rejoice di televisi. Tapi aku malah menuruni gen Ayah.

Aku menatap Ibu dengan mata sembap. Ibu balas tersenyum menenangkan. Cantik. Aku yakin perkataan Ibu benar. Hanya karena iri ibunya tidak secantik ibuku, mereka berani menyebar berita burung.

Sebenarnya bukan hanya itu yang membuatku menangis. Pernah sewaktu aku diantar Ibu ke sekolah, ada segerombolan ibu-ibu duduk di dipan depan rumah. Ibu tersenyum dan menyapa ramah ketika melewati mereka.

Tetapi apa yang mereka lakukan? Mereka malah berbisik-bisik antara satu dengan lainnya. Entah itu bisikan atau apa? Yang jelas aku dapat mendengar obrolan mereka.
Ibu-ibu itu menyebut bahwa ibuku sundel bolong. Mereka juga bilang bahwa aku dilahirkan di kuburan. Dengan lendir dan darah anyir di sekujur tubuh merahku.
Miris. Apa mereka teramat takut suami mereka terjerat pesona Ibu sampai mereka tega memfitnahnya? Ya, Ibu memang seorang janda. Janda kembang tepatnya. Ayah meninggal seminggu yang lalu akibat serangan jantung.

Aneh. Tetangga-tetangga bukannya datang membantu, tapi mereka malah ramai bergunjing Ayah mati karena ditumbalkan Ibu.
Mereka asyik menghibahi keluarga kami yang dirundung duka tanpa ada secuil pun rasa iba. Tragis. Padahal aku bermukim di desa yang kabarnya aman damai. Rupanya hal itu tak menjamin kehidupan yang tentram.
Tetapi yang lebih mengherankan, nenek dari pihak Ayah juga menuduhkan hal yang sama pada Ibu. Kami diusir bagai binatang tatkala bertandang ke rumahnya.

“Pergi sana wahai makhluk biadab! Jangan harap aku menerimamu di rumah ini! Kembali sana ke tempat asalmu di kuburan! Bawa serta anak setan itu!”

Aku bersembunyi di balik tubuh Ibu. Gemetar. Tangis telah berderai deras. Betapa menyakitkannya perkataan Nenek. Tak bisa kubayangkan seberapa perihnya luka hati Ibu.

Terus terang aku tak menyukai nenek itu. Malah ada benci tertanam pada sosoknya. Tega-teganya dia berkata demikian. Apa dia lupa selama ini yang menjadi tulang punggung keluarga adalah Ibu? Bisa apa anaknya itu? Kuakui ayah memang cacat. Kelainan genetik membuat pertumbuhan ayah tak normal. Kaki kirinya lebih kecil dari kaki kanannya.
Sepanjang hidupku, Ayah tak pernah bekerja. Namun sebaliknya, Ibulah yang membanting tulang supaya kami bisa tetap makan dan aku bisa tetap sekolah.

Sebagian tetangga juga bergosip ria mengenai pekerjaan Ibu. Mereka bilang, Ibu adalah kupu-kupu malam. Sebab ia selalu bekerja di kala gelap meraja. Dengan dandanan gemerlap dan penampilan rapi, mereka menduga Ibu berprofesi sebagai wanita tunasusila. Tentu aku tak percaya dengan bualan mulut mereka.

Sebelum berangkat kerja, Ibu selalu mencium keningku. Itu sudah jadi kebiasaan kami. Semacam ritual.
“Sayang, kamu harus belajar yang giat. Jadilah seorang perempuan yang pandai. Ibu ingin menyaksikan anak Ibu sukses di masa depan. Karena sesungguhnya mimpi seorang ibu adalah melihat anaknya bernasib lebih baik dari ibunya.” tutur Ibu sembari menepuk pelan kepalaku. Dia tersenyum meneduhkan.
Usai berkata-kata, aku mematung di ambang pintu memandangi sosok Ibu yang perlahan menghilang di rerimbun pepohonan.

Keesokan paginya, makanan enak selalu terhidang di meja makan. Hasil Ibu kerja kala malam. Biasanya aku dan Ayah akan langsung menyantapnya hingga perut terisi penuh.

Sampai suatu ketika, purnama bersinar penuh di angkasa. Rasa penasaran menyelinap ke rongga dada. Aku berpura-pura tidur ketika Ibu memeriksaku di kamar. Sempat kurasakan kecupan sayang di keningku sebelum Ibu berangkat.
Lalu, segera aku mengenakan mantel cokelatku dan memakai tudungnya agar tidak mudah dikenali.

Kaki ini berjalan perlahan mengikuti derap langkah Ibu. Mengendap-endap. Sebisa mungkin tak menimbulkan suara. Sesekali aku bersembunyi di balik pepohonan atau rumah warga, takut kalau-kalau Ibu menoleh dan memergokiku tengah membuntutinya.

Ternyata dugaanku tepat. Ibu bukan bekerja sebagai wanita penghibur. Sebab begitu tiba di kuburan, Ibu menanggalkan pakaiannya satu-satu. Tangan Ibu bergerak menarik paku dari dalam kepalanya.

Seketika wajahnya berubah menyeramkan. Bola matanya menonjol keluar, pipi cekung ke dalam, rambut menjuntai kusut masai. Dan jangan lupakan punggung yang berlubang meneteskan lendir berbau anyir serta geliat makhluk putih kecil.

Ia berjalan tak lagi menapak di tanah. Gaun panjang terusan putihnya melayang-layang bak kain yang diterbangkan angin dari tali jemuran.

Ibu terbang di udara menghampiri seorang pedagang sate yang berjualan sendirian.

“Su… su.. sundel bolong!!!” teriak tukang sate ketakutan hingga terkencing-kencing di celana.
“Hihihihihi” Ibu tertawa nyaring. Tawa khas hantu perempuan. Bulu romaku serentak bangun semua mendengarnya. Mengerikan.
Seketika tukang sate terkapar di tanah. Pingsan. Di saat itulah, aku melihat Ibu mengambil sate dari dalam gerobak dan membawa besertanya.

Aku terpaku begitu melihat sosok Ibu lenyap bagai asap ditiup angin dalam sekejap. Badan ini lemas. Aku jatuh berlutut. Bulir-bulir bening berlomba-lomba menyusuri pipi.
Saat itu aku terbayang adegan film ‘Suzanna’ yang pernah kutonton di layar tancap. Si sundel bolong yang selalu mengganggu penjaja makanan dikala malam itu bukanlah cerita fiksi semata.

Kau tidak pernah tahu, kalau sesungguhnya sundel bolong menakut-nakuti dan mengambil makanan bukan untuk kesenangan dirinya saja. Namun justru untuk menghidupi keluarga di rumah.

Bahwa benar Ibuku memiliki lubang di punggungnya. Tapi aku tetap menyayanginya. Mencintainya sepenuh hati. Tak peduli meski sebenarnya Ibu jelmaan sundel bolong sekali pun.

Jati diri Ibu tak pernah merubah pandanganku terhadapnya. Bagiku, Ibu tetaplah Ibu. Orang yang sangat kukasihi.

Aku bergegas pulang ke rumah sebelum Ibu mendahuluiku. Akan lebih baik kalau aku tidak menyinggung perihal ini. Sudah cukup gunjingan mereka yang Ibu hadapi. Sebagai anak, aku akan selalu menggenggam erat tangannya. Memberi kekuatan pada dirinya. Berjalan beriringan menantang kerasnya dunia.

Tamat


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *