Saat aku berumur enam tahun, aku punya sahabat. Aku biasa memanggilnya Lilu, dia bertubuh kecil, berambut panjang dan berwajah pucat. Dia selalu mengikutiku kemanapun aku, tapi hanya aku yang bisa melihatnya. Dia tak pernah mengatakan apapun padaku, meskipun aku banyak bercerita kepadanya karena itu aku suka bermain dengannya. Kami biasa bermain di pojok kamar saat malam tiba.
Pada suatu malam, ayahku melihatku berbicara sendiri, padahal saat itu aku sedang bermain dengan Lilu. Saat ayah bertanya, aku tak menjawab, lalu ayah menyuruhku tidur. Aku menuruti perintahnya. Mulai saat itu, ayah curiga padaku. Setiap malam, tanpa sepengetahuanku ia mengendap-endap di balik pintu kamar untuk mendengarkan obrolanku. Lama kelamaan ia tahu kalau aku punya teman tak kasat mata bernama Lilu. Karena aku kasihan padanya, kuceritakan tentang Lilu padanya, ia terkejut mendengar pengakuanku.
Esok harinya, ayah datang bersama saudara-saudara dekatku, salah satunya seseorang yang kukenal dengan nama mbah Nar. Mbah Nar adalah kiai di desa sebelah. Aku duduk di pangkuan ibu, ketika Mbah Nar memulai do’a bersama. Saat mbah Nar memimpin do’a, kulihat Lilu tersenyum padaku, padahal baru pertama kali itu aku lihat dia tersenyum kearahku lalu ia menghilang.
Malam hari tiba, saat aku mencari Lilu di pojok kamar, aku tidak menemukannya. Aku memberanikan diri bertanya pada ayah, lalu ayah mengatakan kalau Lilu sudah kembali pada keluarganya. Aku menangis sejadi-jadinya, sahabat yang selama ini ada di sampingku meninggalkanku.
Saat aku dewasa, aku baru menyadari kalau aku berteman dengan makhluk ghaib. Aku bisa melihatnya, berinteraksi bahkan bermain dengannya Sampai sekarang aku masih mengingat wajahnya, terkadang aku juga merindukan Lilu.
Tamat
Leave a Reply