Tujuh tahun lalu, aku hanyalah gadis kecil yang lugu. Aku belum mengerti apa pun tentang yang namanya jatuh cinta dan aku adalah orang yang benar-benar tidak percaya takhayul. Tapi, ada suatu kejadian yang benar-benar membuat diriku ketakutan setengah mati.
Saat itu, entah mengapa aku bisa berada di tengah-tengah hutan bersalju. Aku sendirian, tersesat, kelaparan, dan kedinginan. Suasana hutan yang ditumbuhi banyak pohon cemara itu terasa sangat mencekam. Suara binatang buas di mana-mana, tapi tidak satu pun yang terlihat; salju tebal hampir membuat tubuhku tenggelam—hanya sampai di bawah lutut; pohon-pohon cemara menjulang tinggi, membuat sinar matahari hampir tak terlihat; dan angin dingin berhembus sangat kencang. Tubuhku bisa kena hipotermia jika berlama-lama berada di tempat yang sedingin ini.
Aku terus berjalan menelusuri hutan sambil memeluk badanku sendiri. Gigiku sampai beradu karena suhu dinginnya. Kakiku terus menendang-nendang salju yang tebal agar bisa berjalan.
Di tengah-tengah hutan, aku melihat orang lain. Ada seorang gadis yang sepertinya sebaya denganku. Rambut hitamnya lurus dan panjang, dia memakai gaun tidur dengan motif bunga, dan dia memiliki postur tubuh kurus. Aku melihatnya dari kejauhan.
“Hei…” teriakku. Aku melambaikan kedua tanganku dan berlari mendekatinya, berharap gadis itu mau membantuku mencari jalan keluar dari hutan ini.
Saat aku berada di dekat gadis itu (tidak terlalu dekat), aku menghentikan langkah kakiku yang dari tadi menendang-nendang salju. Gadis itu kelihatannya sedang menjauh dari sesuatu yang membuatnya takut. Gadis itu gemetaran. “Jangan mendekat!” begitu teriakannya pada sesuatu yang ada di depannya.
Makhluk di depannya terlihat sedikit jelas sekarang. Menyeramkan, pikirku. Aku menyembunyikan badanku di balik salah satu pohon cemara yang batangnya lebih tebal dari yang lainnya. Aku mengintip. Gadis itu masih terlihat gemetaran dan mundur ke belakang. Makhluk yang mendekatinya adalah makhluk yang memiliki tinggi sekitar dua meter (atau lebih); rambut berwarna putih memenuhi tubuhnya; tangannya panjang sampai hampir menyentuh tanah; kuku-kuku jarinya mencuat hingga menyentuh tanah; dan bahunya membungkuk seperti orang yang terkena kifosis. Aku tidak sempat melihat wajah makhluk mengerikan itu.
Gadis itu terus mundur hingga punggungnya menabrak batang pohon. Sudah tidak ada jalan lagi. Makhluk mengerikan itu sekarang berada di depannya. Gadis itu sangat kecil di hadapan makhluk besar berambut lebat itu. Tangan dengan kuku-kuku yang mencuat memegang bahu gadis itu. Mulut makhluk itu terbuka lebar, dan tubuh gadis itu langsung masuk ke dalam mulutnya. Semua anggota tubuhnya sudah tertelan dalam sekali lahap tanpa kunyahan.
Aku berusaha menahan teriakanku. Kakiku gemetar bukan karena dingin dan bulu kudukku berdiri semuanya.
“Sedang lihat apa gadis kecil?” seseorang bertanya dengan suara serak terdengar tepat di belakangku.
menoleh ke belakang. Wajah itu sangat menyeramkan. Makhluk yang memakan gadis kecil tadi langsung berada di belakangku tanpa aku sadari. Mulutnya sangat besar dengan gigi-gigi yang tajam. Mata merahnya melotot ke arahku. Dia tersenyum senang. Aku langsung berteriak sekencang-kencangnya.
Saat itu juga, aku langsung terbangun dari tempat tidur. Ya… itu hanya mimpi, mimpi yang sangat mengerikan. Aku tidak bisa melupakan sosok mengerikan itu. Tapi, sekali lagi, itu hanya sebuah mimpi, batinku terasa lebih lega karena mengingat itu hanya sebuah mimpi yang tidak nyata.
Besoknya, aku berada di jalan raya yang macet bersama ibuku. Dia memegang kemudi sepeda motor. Aku duduk di belakang di atas sadel kulit sintetis yang agak hangat memeluk pinggang Ibu yang membuatku menjadi nyaman. Jalanan macet karena ada upacara ngaben di depan kami. Banyak orang berkerumun di tengah jalan. Ibu menepi hingga sepeda motor kami hampir menyentuh trotoar. Aku melihat bade tinggi tempat jasad yang akan diupacarai di tengah-tengah jalan sedang diarak oleh orang-orang berpakaian adat.
Terdapat sebuah foto seorang gadis di bade itu. Tidak mungkin, pikirku. Itu adalah gadis yang ada di dalam mimpiku. Ya, aku sangat gemetaran ketika melihatnya. Gadis itu terlihat sangat manis di dalam foto. Apa makhluk mengerikan itu benar-benar ada? Apa gadis itu mati karena jiwanya dimakan oleh makhluk yang ada di dalam mimpiku? Tidak, itu hanya sebuah takhayul, hal itu tidak mungkin terjadi. Aku berusaha untuk berpikir positif kala itu.
Aku menguping percakapan dua orang pria yang berjalan mengikuti bade itu.
“Kamu sudah dengar?” tanya salah satunya.
“Belum,” jawab temannya. “Memangnya tentang apa?”
“Itu, loh, gadis kecil itu mati di usia sepuluh tahun karena hipotermia.”
“Memangnya kenapa sama hipotermia?”
“Hipotermia itu kan cuma penyakit yang diderita sama orang yang tinggal di daerah dingin, sedangkan Indonesia, apalagi Bali, kan tropis.”
“Iya juga ya. Eh, tapi, siapa tahu saja gadis itu sering pakai pendingin ruangan di kamarnya.”
“Enggak, keluarganya tinggal di indekos. Mereka bilang: mereka enggak punya pendingin ruangan. Ada rumor yang bilang kalau beberapa hari sebelum anak itu meninggal, dia sering bermimpi tersesat di hutan bersalju.”
“Ah, itu kan cuma mimpi enggak ada hubungannya sama hipotermia!”
Tanpa aku sadari, Ibu langsung menambah kecepatan sepeda motor. Dia sudah mendapatkan sela agar bisa berkendara tanpa hambatan. Ibuku dan aku sudah keluar dari kemacetan jalan raya satu arah itu.
Malam harinya, aku terus memanjatkan doa ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Di atas tempat tidur kecilku, aku duduk dan mencakupkan kedua tangan, lalu memohon kepada-Nya agar tidak diberikan mimpi yang buruk lagi. Aku tidur seorang diri di kamarku. Kamarku berada di lantai dua, dan berada tepat di sebelah kamar kakak laki-lakiku yang masih berstatus pelajar sekolah menengah pertama. Dia mungkin akan bergadang sampai larut malam.
Jam alarm digital yang ada di meja belajarku menunjukkan pukul dua puluh satu lewat lima belas menit. Aku segera menarik selimutku, merebahkan badanku, dan memejamkan mataku.
Aku tertidur dengan lelap. Tapi…
Aku berada di tengah-tengah hutan bersalju itu lagi. Aku memakai pakaian piama tidurku yang berwarna biru pirus. Aku merasa kedinginan. Kesadaranku cukup baik. Aku sudah tahu kalau sekarang aku sedang berada di alam mimpi.
Aku memejamkan mata. “Bangunlah!” teriakku di tengah-tengah hutan. Tidak berhasil, aku tidak bangun. Aku terus mencobanya sampai lebih dari sepuluh kali, tapi tidak ada hasilnya.
Aku mulai khawatir. Ya… aku mengingat sebuah metode: saat kamu mencubit dirimu sendiri di dalam mimpi, jika cubitan itu terasa sakit, maka kamu tidak sedang bermimpi. Tapi, jika cubitan itu terasa tidak sakit, maka kamu sedang bermimpi. Ini hanya mimpi, tidak akan terasa sakit, pikirku. Aku langsung mencubit kulit lengan bawahku dengan kuku jari telunjuk dan ibu jariku. Rasanya sakit. Tidak mungkin, ini bukan mimpi?
“Bella…” suara serak itu memanggil namaku.
Aku menoleh ke belakang. Itu adalah dia, makhluk yang memakan gadis yang sudah meninggal karena hipotermia itu. Makhluk itu berada tidak jauh dariku, sekitar lima meter jauhnya di belakang. Dia tersenyum lebar. Wajahnya menyeramkan, perpaduan antara wajah binatang buas dan wajah manusia lansia.
Aku berlari menendang-nendang salju yang mengubur kakiku. Aku berlari sekuat tenaga sampai rasanya sudah jauh dari makhluk mengerikan itu. Napasku terengah-engah dan mengeluarkan uap yang diakibatkan oleh suhu dingin. Makhluk itu rasanya sudah jauh dariku. Aku menghentikan langkahku. Aku membungkuk dan menghela napas, mencoba menarik oksigen sebanyak mungkin.
“Bella… kamu tidak akan bisa lari dariku, gadis manis,” kata makhluk itu.
Aku menegakkan badan. Dia sudah berada di depanku. Dia memegang bahuku. Mengangkat tubuhku ke atas kepalanya dengan kedua tangan yang sangat panjang. Dia membuka mulut lebar-lebar. Mulutnya sudah seperti lubang sumur. Gigi-gigi tajamnya terlihat seperti mesin penggiling daging. Aku menggerak-gerakkan badanku berusaha untuk lepas dari cengkeraman telapak tangan besarnya.
“Lepaskan aku!” perintahku. Tapi, dia terus berusaha memasukkan tubuhku ke dalam mulutnya.
Aku berteriak sekencang-kencangnya.
Saat itu juga, aku merasa wajahku basah seperti diciprati air.
“Bella, bangun!” perintah seorang pemuda, sepertinya itu kakakku.
Aku langsung membuka mata. Makhluk itu sudah tidak ada. Sekarang yang terlihat hanyalah kamarku, dan di sebelahku terlihat kakakku yang sedang duduk di atas tempat tidurku membawa segelas air putih.
“Kamu kenapa teriak-teriak?” dia bertanya.
Aku langsung bangun dan memeluknya. Aku menangis. “Kakak, aku takut, ada makhluk seram di mimpiku,” ceritaku dengan gaya bicaraku yang cadel entah mengapa.
Kakakku langsung mengelus-elus kepalaku. “Jangan menangis, itu kan cuma mimpi,” katanya menenangkan. “Bagaimana, kalau kamu tidur bareng Kakak di kamar Kakak?”
Aku mengangguk dalam pelukan kakakku.
“Eh, Bella, kenapa badanmu dingin sekali?”
Tamat
Leave a Reply