Hujan selalu memiliki daya tarik tersendiri untuk anak-anak kecil, seperti masa kecilku dulu yang sangat menyukai bermain hujan di halaman rumahku di desa, padahal permainan yang dimainkan saat hujan bukanlah permainan yang istimewa dan bahkan bisa dilakukan pada saat cuaca sedang tidak hujan, namun entah mengapa memainkan permainan itu saat hujan terasa lebih menyenangkan.
Waktu itu umurku masih sekitar 6 atau 7 tahun, yang mana pastinya aku tidak terlalu ingat. Saat itu siang, namun cuacanya sangat gelap seolah sudah petang, aku sedang bermain dengan teman-temanku di lapangan. Kami sedang memainkan gobag sodor, permainan tradisional yang saat itu sedang digemari anak-anak kecil seperti kami. Karena terlalu asyik bermain kita tak memperhatikan gerimis yang mulai turun. Satu persatu teman bermainku dijemput oleh orangtua mereka karena gerimis semakin deras dan menjadi hujan. Karena permainan sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, aku dan beberapa temanku yang tidak dijemput oleh orangtua kami memutuskan untuk pulang.
Hari ini emak sedang pergi ke pasar dan biasanya akan pulang saat hari sudah sore atau menjelang petang. “wah, kesempatan ini” pikirku karena bisa bermain hujan-hujanan sepuasnya, karena tak memiliki teman bermain aku bermain sendiri di halaman rumahku. Sebenarnya yang kulakukan hanyalah lari-larian mengelilingi halaman rumah seolah-olah aku sedang mengendarai sepeda motor layaknya seorang pembalap. Sesekali ketika aku lelah berlarian, aku akan berhenti di bawah pancuran pembuangan air. Saat aku sedang duduk-duduk sambil merasakan guyuran air hujan yang turun dari genting, sayup-sayup aku mendengar suara aneh, suara itu seperti suara teriakan yang melengking, sangat melengking hingga lebih mirip seperti suara peluit ketimbang teriakan, dan suara itu tidak hanya satu! Ada dua.. Tiga.. Lima.. Sepertinya lebih dari itu, ada banyak suara melengking itu. Terkadang suara itu terdengar, lalu beberapa saat kemudian menghilang, lalu terdengar lagi, lalu menghilang. Aneh, tapi aku tak terlalu mempedulikannya aku lanjut bermain, kali ini aku membuat bendungan kecil di saluran air yang ada di halaman rumahku, saluran ini fungsinya untuk mengalirkan air yang ada di halaman agar tidak menggenang dan aku malah membendung saluran airnya.
Aku sedang mengumpulkan batu-batu kecil untuk bendunganku ketika sayup-sayup aku dengar suara melengking itu lagi, kini aku rasa suara itu saling bersahutan antara satu dan yang lainnya. Aku tak tahu lagi ada berapa sebenarnya suara-suara itu, seperti bertambah banyak atau hanya beberapa suara yang saling bersahutan secara cepat. Aku sudah lupa dengan bendungan kecil yang baru setengah jadi tadi, sekarang perhatianku terfokus pada suara aneh itu. Setiap kali suara itu terdengar lagi setelah menghilang suaranya terdengar seolah semakin dekat antara satu dan yang lain. Aku mendengarkanya dengan seksama ketika suara itu muncul lagi. Suara itu hampir terkumpul, mungkin suara itu digunakan untuk mencari teman mereka, atau itu mungkin suara peluit sebagai tanda orang yang tersesat di hutan agar dapat bertemu dengan rekannya. “Yaa, pasti begitu”, fikirku.
Aku terkejut ketika tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, emak, dia memarahiku karena menyumbat saluran air dan memintaku untuk membersihkannya. “abis itu ndang mandi sana, udah sore.. Jangan kelayapan lagi, apalagi pergi ke wit-witan!!” bentak emak. Aku menuruti kata-katanya, kubongkar lagi bendungan kecil yang setengah jadi itu. Aku sudah tak mempedulikan suara-suara itu, lalu tiba-tiba Lapp… Kilatan cahaya putih yang sangat terang terpancar dari langit dan diikuti suara petir yang menggelegar hampir bersamaan dengan cahaya kilat tadi. Aku hampir melompat mendengar petir itu, jarak yang singkat antara cahaya kilat dan suara petir itu menandakan bahwa petir menyambar tak jauh dari tempatku, mungkin di bukit kecil di samping rumah. Bukit itu memang tak jauh dari rumah, hanya dibatasi oleh kebun kecil milik keluargaku, namun dibalik kebun itu berbatasan langsung dengan pohon-pohon tinggi milik bukit kecil itu.
Ada yang aneh setelah petir yang menyambar, suara-suara yang kudengar tadi semakin mendekat satu sama lain, dan akhirnya bersatu menjadi sebuah irama. Suara lengkingan seperti peluit itu kini terdengar lebih nyaring dan lebih enak didengar, mirip sebuah bunyi musik yang mengalun, seperti sebuah nyanyian! Yaa, nyanyian alam yang indah, sangat indah. Aku seolah tersihir dengan suara itu dan tanpa sadar kakiku mulai melangkah menuju bukit di samping rumahku.
“Mau kemana dek?!!” teriak emak dari teras rumah yang seolah menyadarkanku dari lamunanku, “udah dibilangin kalo udah sore ndang mandi!!” bentak emakku lagi, aku dengan gugup menjawab “i iya mak” aku lalu berlari menuju kamar mandi yanh ada di belakang rumah.
Malam itu aku susah tidur, suara alunan yang kudengar sore tadi seolah nelekat di kepalaku. Lama aku terbaring, tiba-tiba… Ciitt ciitt ciitt… Terdengar seperti suara tikus muncul dari samping rumahku. “sepertinya dari arah kebun…” batinku karena kamarku berada di samping kanan, sisi yang bagian luarnya berdekatan dengan kebun, hanya dibatasi jalan setapak dan pagar kebunku. Awalnya aku tak mempedulikan suara itu dan berusaha lagi untuk tidur, namun sia-sia, aku malah semakin tak bisa tidur. Keadaan itu diperparah dengan suara cicitan tadi yang semakin lama semakin gaduh, seolah semakin banyak tikus yang berkumpul. Kau sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikannya, namun akhirnya rasa penasaranku yang menang. Kuberanjak dari dipanku dan mengambil lampu teplok yang ada di tiang didekat pintu kamar lalu menyelinap keluar. Aku langsung menuju ke kebun yang ada di samping rumahku, suara itu masih terdengar, namun tiba-tiba hening ketika aku membuka pintu pagar kebun.
Cieeet… Suara pintu itu lagi ketika aku menutupnya, aku kini sudah ada di dalam kebun. Suara-suara itu sudah tidak ada lagi, “aneh, kenapa tiba-tiba jadi sepi”. Beru ketika aku mau melangkah, lampu teplok yang aku bawa mati terkena angin yang tiba-tiba berhembus. “ah sial, kalau gini kan gak keliatan apa-apa” fikirku, kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku berbalik dan berniat membuka pintu pagar lagi namun gerakanku tehenti karena ekor mataku menangkap sekebat cahaya kecil yang tebang masuk ke dalam kebun. “kunang-kunang??” aku bertanya-tanya dalam hati.
Kubatalkan niatku untuk kembali ke rumah kemudian sekali lagi berbalik menghadap kebun dan saat itu kulihat dibalik rimbunnya tanaman jagung yang sudah tinggi, cahaya-cahaya kecil mirip kunang-kunang berterbangan kesana kemari. Aku semakin penasaran, lalu kuputuskan untuk melihatnya lebih dekat. Jadi dengan berhati-hati aku melangkah menuju rerimbunan tanaman jagung itu, cahaya-cahaya itu semakin besar!! Lalu ketika aku masuk ke rimbunan tanaman jagung itu, cahaya-cahaya itu berhenti bergerak. Kepala makhluk-makhluk kecil bersayap itu menoleh ke arahku, aku teridam, kaget, tak percaya…
Saking terkejutnya aku sampai tak bergerak, mulutku menganga. Makhluk kecil itu memiliki mata besar berwarna hitam pekat, kulitnya berwarna putih pucat, entah karena memang berwarna pucat atau karena terkena cahaya yang muncul dari sayap di punggungnya, tubuhnya hanya sebesar dua jempol tangan yang disatukan dan tingginya hanya setinggi telapak tangan. Makhluk itu punya dua tangan dan dua kaki, persis seperti manusia!! Namun dengan sayap, dan bercahaya seperti kunang-kunang!!. Awalnya mereka hanya menatapku bingung, namun salah satu dari makhluk itu kemudian menunjukku dengan tangan mungilnya, dan mulutnya menganga seolah sedang berteriak, saat itulah kudengar suara itu, suara melengking yang kudengar saat aku bermain tadi. Suara itu jauh lebih keras dari yang tadi, sangat keras, aku menutup teling dengan kedua tanganku. Muka makhluk-makhluk itu kini terlihat marah melihatku.
Aku masih terdiam di tempatku, memegangi kedua telingaku yang sakit mendegar suara teriakan itu, lalu ketika kulihat wajah marah mereka, saat itulah aku tau, aku dalam masalah!!! Makhluk-Makhluk itu mulai beterbangan ke arahku dengan marah, aku berbalik tak kupedulikan telingaku yang sakit, aku berlari menuju pintu pagar namun sialnya mereka menyusulku ketika aku berusaha membuka pintunya. Makhluk-makhluk itu mengeroyokku, gigi mereka tenyata tajam-tajam, makhluk itu mengigiti tubuhku, aku berusaha berontak dah menyingkirkan mereka dari tubuhku, tubuhku bersimbah darah, cukup lama aku melawan mereka, kesadaranku mulai hilang dan ketika aku hampir pingsan aku merasakan salah satu dari mereka mengigit telinga kananku. Entah dapat kekuatan dari mana, kugenggam makhluk kecil itu dengan tangan kiriku. Kupegang makhluk itu sekuat tenaga, namun gigitanya juga semakin kuat menancap di telingaku hingga akhirnya aku tak bisa lagi merasakan telinga kananku. Aku juga sudah terlalu lelah dan pingsan.
Saat aku terbangun, aku sudah berada di kamarku. Aada banyak orang yang mengunjungiku saat itu, kulihat wajah emak yang terlihat lega melihatku bangun. Seluruh tubuhku ada luka bekas gigitan kecil namun cukup dalam sukurlah tak ada luka yang serius selain telingaku. Aku tak menyadarinya ketika aku baru bangun, namun beberapa hari setelahnya ketika kain yang membalut telingaku dilepas saat itu aku baru tahu bahwa aku telah kehilangan telinga kananku.
Sebulan berlalu sejak kejadian itu, tubuhku sudah pulih sepenuhnya, meskipun kini pendengaranku agak berkurang di bagian kanan karena hilangnya telingaku, pagi itu aku baru bangun dan sedang duduk-duduk di kamarku ketika bapak masuk dan memberiku sebuah bungkusan dari daun jati. “apa itu pak?” tanyaku penasaran, “kupingmu lee, dan yang mengambilnya” segera kuambil bungkusan itu dan kubuka. Aku merinding melihat isinya, makhluk kecil mengerikan itu sedang meringkuk mengigit telinga sebagian besar telinga itu masuk ke mulutnya, sedangkan kaki dan tangannya memeluk telinga itu dengan kuat. “Hewan apa itu pak?” tanyaku yang belum pernah melihat makhluk kecil itu, “itu namanya Peri, nak”. “Peri, yaa” aku manggut-manggut seolah mengerti apa yang dikatan bapak kepadaku.
Telinga dan makhluk itu sudah kering dan anehnya baik telinga maupun makhluk itu tidak busuk, kedua benda itu mengering seolah telah begitu lama dijemur. Lamat-lamat aku teringat kalau aku menggenggam salah satu dari mereka disaat-saat terahir kesadaranku.
TAMAT