“Rumornya dia beneran indigo, loh.”
“Hahaha, tak ada yang namanya anak indigo, Tan. Wujudnya saja tak ada seram-seramnya sedikitpun. Gil itu hanya fanatik dan chunibyo. Makanya jangan mudah percaya dengan rumor-rumor dari temen-temen di kampus kita.”
“Kau pikir anak indigo semuanya seram-seram? Harus cosplay jadi pocong? jadi kunti? jadi tuyul, hah?”
“Bukan begitu juga maksudku. Tapi, indigo kan berhubungan dengan yang seram-seram. Jadi, wujud anak indigo seharusnya datar dan auranya gelep-gelep seperti tinta gurita.”
“Lah, bukannya kamu tadi bilang kalau anak indigo itu tak ada? Wah, kelihatan jelas kalau kamu tak berpikir sebelum bicara.”
“Eee… kamu juga tak jelas. sudah sudah. Sekarang kapan dia akan tiba?”
“Kemarin Gil bilang akan datang pukul 9 tepat. Dan, sekarang sudah lewat 48 detik.”
“Aduh, jangan-jangan Gil sekarang masih sibuk main kartu tarot bareng boneka barbie adiknya, nih.”
“Ya sudahlah, kita tunggu saja dulu.”
“Pak, pesan tehnya dua ya.”
Hari semakin gelap. 45 menit pun berlalu. Kini rintikan hujan turut turun menemani.
Menunggu.
“Wah, lama sekali. Siapa yang akan membayar teh-teh ini kalau dia tak kunjung tiba juga? Apakah harus diriku dengan dompet kosong yang membayar semua ini?”, keluhku sambil memeriksa dompetku yang ternyata memang kosong tanpa satupun lembaran kertas berwajah itu .
“Aku”
“Wuohhh…”, aku dan Rayn terkejut sesaat Gil tiba-tiba datang dari belakang.
“Akhirnya tiba juga, huh. Nasib sekelompok dengan anak indigo, pasti waktunya malam-malam”, keluhku.
“Gayanya si Gil saja mungkin. Biar kamu percaya kalau Gil itu anak indie.”, ujar Rayn.
“Hawa dingin saat ini seakan membawa sebuah pesan seseorang yang tak tersampaikan. Langit gelap ini menangis pilu karena sang senja telah menghilang. Gelap tanpa cahaya. Secangkir teh hangat turut menemani suasana ini bagaikan sebuah pelukan hangat. Miris…”
“Nah, kan, Tan.. Gil itu anak indie bukan indigo”, bisik Rayn padaku.
“Telah lama dia menunggu kabar. Namun, tak satupun pesan balasan datang. Hati hancur mengira tak ada lagi yang mengkhawatirkannya. Malam, sekitaran jam setengah sepuluh malam…”
“Jam sekarang, Ray”, bisikku.
“Dia memutuskan untuk pulang, tanpa alas kaki, tanpa jas hujan, dibawah tangisan. Namun dia salah… Roda itu melaju kencang, mendekatinya, merangkulnya, dan membawanya pulang. Kini, saat ini, hari ini, dia kembali datang. Duduk di kursi samping Artan, sambil kembali menunggu balasan.”
“Eeee… K- kamu serius?”, tanyaku sambil melihat kursi kosong disampinku.
“Tidaklah. Santai, hanya bercanda saja, huwee.”, balas Gil sambil terkekeh dan segera duduk di kursi sampingku itu, “Tapi , dia berada di luar, di depan kita, menatap kita melalui kaca transparan ini.”
“Kalau apa yang kau katakan itu benar, jangan-jangan dia juga mau minum teh karena kedinginan tapi tak punya uang, hahaha.”, balas Rayn sambil tertawa, “Kurang kerjaan sekali hantu bucin satu itu. Aneh.”
“Ah, kamu ini jangan pura-pura tak paham, Rayn. Dia kan menunggumu dari dulu. Rayn memang tak peka. Lihat tuh, mukanya sekarang makin murung karena perkataanmu tadi.”, ujar Gil, “Makanya, Rayn… Utang itu dibayar. Coba ingat sudah berapa ratus kali kau berhutang di kafe yang ada di tempat ini dulu dari baru dibuka Ceil. Jangan semena-mena hanya karena Ceil sudah tiada, kau sekarang malah pura-pura lupa. Lihatlah sekarang, karena ulahmu dulu, sekarang kafe Ceil sudah lenyap dan tergantikan dengan kafe ini. Bayangkan bagaimana sulitnya hidup Ceil dulu yang mengira kau adalah sahabatnya ternyata malah pergi dan meninggalkannya dengan modal habis dan kebangkrutan hingga makin terlantarkan.”
Aku hanya dapat terdiam karena tak paham apa yang sedang mereka berdua katakan. Raut wajah Rayn pun seakan menggambarkan dia sedang kaget dah heran sesaat mendengar dialog Gil tadi.
“Heh?! Ternyata kau benar-benar anak indigo!”, seru Rayn percaya, “Wah, sangkin banyaknya tugas dari kampus, aku hampir saja lupa dengan hal itu. Sebelumnya, kau tau hal itu dari mana? Kau bisa melihat ingatanku atau Ceil yang menceritakannya? Atau kau dari dulu terus membuntutiku karena kau fansku?”
“Atau kau mempunyai mata lain seperti yang ada di Naruto? Wah, pasti damai sekali hidupmu. Apalagi kalau bisa melihat kunci jawaban ulangan matkul Matematika.”, ujarku, berhenti menyimak, agar tetap masuk ke bagian tiga tokoh utama dalam cerita ini.
“Mempunyai mata batin terbuka itu tak sedamai apa yang kalian bayangkan, tahu! Tapi, beruntunglah… Karena kelainan ini aku bisa mempunyai lebih banyak teman dan tak no life lagi, walau tak semua orang bisa melihat mereka.”, ujar Gil, “Lalu, sebenarnya jauh sebelum aku mengenalmu, sekitar 4 tahun 8 bulan yang lalu, aku bertemu dengan Ceil di depan kafe ini. Yap, pada saat itu, Ceil sudah bukanlah lagi makhluk hidup. Dia bercerita padaku mengenai anak lelaki nakal yang membuatnya tak bisa tenang, yaitu Rayn. Karena hatiku yang lembut baik hati dan dermawan ini, akhirnya aku membantu mewujudkan harapan Ceil untuk membawamu berkunjung ke makam dia saja jika kau tak sanggup membayar hutang-hutang itu. Dan, tada… Setelah mencari banyak data dan membututimu selama bertahun-tahun, hingga menyamar menjadi mahasiswa, akhirnya aku bisa berkenalan dan hari ini menyampaikan pesan Ceil.”
“Halah, gayamu saja mengaku baik hati. Padahal, kau mau membantunya karena dia cantik, ya kan? Mengaku saja kau?”, ujar Rayn.
“Eeee… m-mana ada begitu! Aku memang baik dan tak sekejam dirimu. Dia berjanji akan bermain tarot dan membuatkanku teh gratis jika aku berhasil.”, ujar Gil, “Dan malam ini, sekitaran jam sepuluh ini, adalah peringatan hari kematiannya yang ke 5 tahun. Ceil bilang tak ada lagi yang mengunjungi makamnya setelah seminggu kematiannya. Kasian sekali nasib gadis pemalu tak berkeluarga itu. Sekarang, ayo kita berkunjung kemakamnya, agar hadiahku bisa segera ku ambil!”
“Oii!!! Tugas kita bagimana? Wadoo, kenapa malah mau menemani Gil reuni bersama dengan teman-teman hantunya di makam begini?”, tanyaku bingung, “Materinya saja belum ada. Kalau ppt-nya tak kelar bagaimana?”
“Santai, kan ada Gil. Nanti kita minta bantuan saja dengan teman-temannya, Gil. Daripada mereka gabut, hehe.”, ujar Rayn.
“Wah iya iya, baru kepikiran aku. Berasa jadi cheater huwawa…”, ujarku.
“Heh… ya sudahlah, yang penting aku dapat hadiah.”, hela Gil.
buatanku tak ada tandingannya. Apalagi jika saat hujan tiba. Dia juga memuji kafe sederhanaku ini sangat nyaman hingga membuatnya tak ingin pulang. Hanya sedikit orang yang mengetahui jika aku membuka kafe ini. Untuk membuat promosi saja aku malu. Apalagi ingin mencari tahu dimana keluargaku. Aku manganggap dia sudah seperti sahabat bahkan keluarga. Bahkan aku tak peduli dia akan membayar teh-teh ini atau tidak. Tapi, dia malah pergi. Entah karena apa alasannya. Dia tak lagi berkunjung ke kafe ini. Modalku semakin menipis, hingga akhirnya bangkrut. Aku tetap terus menunggu, selalu menunggu. ‘mengapa dia tak kembali? Apakah aku tak akan pernah mempunyai sahabat atau keluarga?’ Akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Siapa tahu aku dapat menemukan keluargaku dan pulang. Ternyata jalur pulangnya berbeda. Kecelekaan itu terjadi saat sedang hujan deras, sehingga mobil itu meleset dan menemuiku. Kupikir dia akan berkunjung ke makamku. Ternyata tetap tidak. Bagaimana aku bisa tenang? Bantu aku, kak…”
“Eee… a- akan kuusahakan. T-tapi, sebagai balasannya berjanjilah untuk bermain kartu denganku.”
“Janji! Bahkan, aku akan membuatkanmu teh gratis!”
“Siapa namanya?”
Tamat
Leave a Reply