Keadaan taman bermain sudah sangat ramai saat Khansa mengajak sang kemenakan untuk bermain. Selagi sang ibu masih sibuk membereskan rumah dan kebetulan ia sedang libur. Bermain bersama Rayan, sang kemenakan gembul yang begitu menggemaskan adalah obat lelah Khansa di tengah-tengah deadline yang membuat kepalanya terasa mau meledak. Setidaknya untuk hari ini saja, ia ingin bermain sepanjang hari dengan Rayan.
Rayan yang masih berumur tiga tahun sangat tampan dan menggemaskan. Pipinya gembul, kulitnya putih dan saat tertawa maka matanya akan hilang tertelan bongkahan pipi yang sudah seperti bakpau.
“Tante, Layan mau main pelosotan!”
Khansa mengangguk dan membimbing kemenakannya ke area perosotan. Ia membantu bocah gembul itu menaiki tangga dan langsung berlari ke depan menunggu Rayan yang akan meluncur.
Gelak tawa dari bocah gembul itu selalu membuat hati Khansa menghangat. Ia jadi membayangkan jika memiliki anak selucu Rayan, selelah apapun dirinya pasti saat melihat bocah itu rasa lelah akan langsung hilang. Sayang sekali, di umurnya yang menginjak usia dua puluh lima tahun itu, Khansa belum juga menemukan tambatan hati.
Lelah bermain, Khansa mengajak Rayan duduk santai di ayunan. Dengan satu batang es krim di tangannya, bocah itu tampak duduk tenang. Khansa dengan telaten mengusap bekas es krim yang ada di sekitar mulut kemenakannya hingga ia mempunyai ide untuk mengajari Rayan berhitung.
“Rayan sudah bisa berhitung sampai berapa?”
Rayan tampak berpikir sejenak, gaya jenaka bocah itu membuat Khansa gemas. Ingin sekali ia menggigit pipin Rayan hingga sang pemiliknya menangis, tapi ia belum siap menjadi samsak kakaknya yang marah.
“Sepuluh,” sahut Rayan dengan semangat.
“Berhitung sama tante, yuk! Kita hitung semua anak yang ada di taman bermain ini,” Khansa membuat gerakan isyarat dengan tangan yang membentuk lingkaran.
Rayan mengangguk, ia kembali menjilati es krimnya sebelum fokus ke arah telunjuk Khansa.
“Satu,” Rayan mulai menghitung dari anak yang bermain ayunan tak jauh dari tempat mereka.
Khansa menunjuk ke tempat lain.
“Dua.”
“Pinternya keponakan Tante,” puji Khansa lalu berlanjut menunjuk anak lain.
“Tiga.”
“Mati.”
Tangan Khansa mematung menunjuk ke ayunan usang di bawah pohon beringin yang ada di pinggir taman bermain.
“Rayan, katanya bisa menghitung sampai sepuluh, setelah angka tiga angka apa?” Khansa mengulang lagi.
“Satu … dua … tiga … mati ….”
Hitungan Rayan selalu sama tiap Khansa menunjuk ke anak yang tengah bermain ayunan sendiran di bawah pohon beringin.
“Rayan, hitung yang benar, ya? Nanti Tante beliin mainan yang bagus kalau Rayan berhasil menghitung dengan benar.”
“Mati, anak itu sudah mati.”
Entah kenapa Khansa merasakan bulu kuduknya meremang. Khansa memandang ke sekelilingnya dan baru sadar jika waktu sudah beranjak senja. Banyak anak yang sudah pulang dijemput oleh orangtuanya.
Dengan cepat Khansa mengangkat Rayan dan menggendongnya. Dengan tergesa ia pergi dari taman bermain. Langkahnya semakin cepat kala ia menoleh dan anak di bawah beringin itu menyeringai ke arahnya.
Tamat