Warna-warni Canvas Senja hari itu terasa dingin. Hujan yang mengguyur kotaku sejak sore tadi itu lumayan lebat, walhasil setiap jejak-jejak guyuran hujan masih nampak di setiap kelokan jalan. Namun hal itu tidak membuatku surut. Aku harus segera pergi.
Kupaksakan tungganganku meraung-raung di pojokan rumah, demi memanjakan hasratku untuk tahu lebih jauh tentang seni lukis. Rasa penasaranku telah membuncah tak terbendung. Jarum speedometer pada Rancy panel Kawasaki Ninja 250 cylinder itu turun naik dengan lincahnya bak pedang samurai siap bertarung. Kuraih helmet dan jaket kulit cokelat itu. Kupacu sepeda motorku dan berlalu dari komplek.
Sabtu ini adalah hari terakhir pekan Seni Lukis yang digelar di Soerabaya Art & Painting Center. Kesempatan dihari libur ini kugunakan untuk hunting inspirasi usai rutinitas. Hampir setengah jam perjalanan sudah kulalui, meski harus melewati beberapa titik macet kota Surabaya.
Tiba di lokasi, aku langsung bergegas menuju ruang utama. Ramai dan meriah sekali acaranya. Selain memamerkan hasil seni lukis, nampaknya acara dimeriahkan pula dengan pentas seni musik. Nampak suguhan dari seorang biduanita lokal tengah beraksi. Terdengar jelas lagu How do I live without you nya Trisha Yearwood. “…And tell me now,… How do I live without you.. I want to know.. How do I breathe without you.. If you ever go… How do I ever, ever survive…? How do I, How do I, Oh how do I live…?”
Aku berjalan menyusuri setiap lukisan yang terpampang di setiap stand. Beraneka ragam jenis dan ukuran lukisan disajikan dengan penuh warna. Tapi entahlah, Aku belum dapat menemukan perbedaannya. Hanya sebatas gambar saja yang mampu kucerna.
Pandanganku tertuju pada sebuah lukisan pepohonan yang begitu menarik perhatian. Guratannya apik sekali. Warna yang alami dan lekukan batang pohon itu membawaku seolah-oleh aku berada di depan jendela yang mengarah ke hutan belantara.
“Wow, this painting is cool. Indah sekali lukisan ini”, gumamku dalam hati. Dari pandangan saja, Aku bisa merasakan kesejukan dan kedamaian. Padahal itu hanya sebatas canvas yang dilumuri cat minyak oleh tangan-tangan yang ahli dibidangnya. Namun, hasilnya luar biasa sekali, sangat menyentuh dan menggugah rasa. Pikiranku menerawang jauh, menghayalkan diriku berada di dalam hutan yang sejuk dengan suara-suara hewan bersahutan. Hembusan angin semilir seolah menerpa wajahku. Akupun tersenyum.
“Ini adalah lukisan natural”, tiba–tiba suara seseorang mengagetkanku. Tangannya meraih pundakku. Sontak akupun menoleh. “Maksud Anda?”, tanyaku. “Sang pelukis berusaha melukiskan sebuah objek yang sama persis dengan keadaan alam sesungguhnya”, tuturnya dengan mata tertuju ke kanvas. “Mmm.. maaf, Anda siapa?”, tanyaku lagi. “Bila ingin menikmati sebuah lukisan, maka hati kita harus jernih”, lirihnya tanpa menjawab pertanyaanku. “Mmmm…, Absolutely, I agree with you, but…,” dalam hati aku mengiyakan meski aku masih bingung siapa dia. “Em.. maaf,..”, potongku sambil berusaha menggeser badanku. “Seni itu keindahan dalam hati. Bisa dirasakan tanpa harus berucap. Keindahan itu abadi dan akan tersimpan selamanya”, ujarnya seolah-olah tidak ingin melepaskan perhatianku. Sepertinya dia ingin mengajariku tentang seni. “Lukisan seperti apa yang kamu suka?”, tanyanya. “Hmm,.. aku suka lukisan bernuansa romantis”, cetusku datar. “Good. Kamu bisa menghayati romantisme”, sambungnya lagi “Apa itu?”, penasaranku semakin terpancing.
“Romantisme dalam seni lukis adalah usaha menampilkan suatu objek dengan indah dan menakjubkan. Aliran ini melukiskan suatu hal yang bersifat romance, seperti sebuah kisah tragis atau tragedi yang pernah terjadi masa lalu. Romantisme juga bisa tentang pemandangan alam yang mempesona,” tuturnya. “Ooooh, begitu…”, Akupun mengangguk. “Ingin tahu lebih banyak tentang seni lukis?” “Iya” “Ikuti saya!”, ajaknya sambil membalikkan badan. “Kemana??”. Follow you? Who are you?, tanyaku dalam hati. Kebingunganku mulai berkecambah. Dia tak menjawab, malah meraih tangan kiriku, akupun menuruti saja, seolah-olah mengiyakan.
Aneh. Aku mengikutinya dari belakang, sementara lengan kanannya masih membimbingku berjalan. Beberapa stand kami lewati. Para pelukis sibuk dengan lukisannya dan kesibukannya masing-masing. Ada yang sedang melukis seseorang. Ada yang sedang menjelaskan kepada pengunjung, berbincang-bincang, tertawa kecil dan ada juga yang sedang merenung. Mungkin sedang mencari inspirasi. Sosok orang yang tak kukenal ini seolah-olah ingin menjelaskan lebih banyak hal tentang lukisan. Anehnya, tak ada perasaan takut di hatiku. Aku hanyut dalam ajakannya. Genggamannya lembut dan sejuk, namun tegas mengajakku. Akupun memenuhi keinginannya.
Kuperhatikan dia dari ujung rambut hingga kaki, gaun putih yang ia kenakan dan caranya berjalan. Sungguh dia seperti sesosok dari kalangan tertentu, seperti dimasa lampau. Perawakannya berbeda sekali dengan orang-orang sekitarnya. Harum tubuhnya tercium segar seperti harum bunga yang dihias dalam gaun pengantin. Segar dan menghanyutkan. “Awesome, but who are you?”, lirihku.
Tak lama, kami tiba di sebuah stand nomor enam belas yang berada di pojokan. Stand itu dihiasi beberapa lukisan klasik. Menakjubkan sekali lukisan-lukisan yang terpampang disana. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya dari tanganku sambil tersenyum. Ia mempersilakanku untuk menikmati lukisan yang ada di hadapan. Selang beberapa saat, akupun larut diantara lukisan-lukisan itu dan takjub dibuatnya. “Luar biasa sekali lukisannya. Sempurna hingga detail. Pasti pelukis ini seorang masterpiece. Siapakah pelukisnya?”, ucapku pelan. “Saya..!”, suara lelaki terdengar di belakangku. Akupun terkejut. “Uppss…, Anda??… oh…”, akupun terkejut untuk keduakalinya. “Iya. Saya yang melukisnya”, jawabnya tenang.
“…Wa..wa…wanita yang tadi bersamaku kemana?”, tanyaku. “Wanita yang mana??”, tanyanya. “Mmm… yy..yang… yang tadi ii..itu…&#$)@)*#..!.”, tiba-tiba aku mendadak gagap sambil tengok kanan kiri. “Saya tidak melihat orang yang Anda maksud. Perkenalkan, nama saya Raden Damar Sukma Djati”, ucapnya sambil membungkukkan badannya dengan tangan kanan dilipat ke arah dadanya, laksana seorang pangeran dari keraton. “Ssa..saya Tiara!”, balasku agak sedikit kelu. Mataku masih mencari-cari kemana sosok yang mengajakku tadi.
“Anda baik-baik saja?”, sapanya. Pria dengan blankon ini menatapku sambil tersenyum kecil. “Bb..bb..baik… baik-baik saja”, jawabku terbata-bata. “Baguslah. Saya tidak melihat Anda datang bersama seseorang”, jelas pria yang memiliki stand nomor enam belas ini. “Tidak!. Saya berdua dengannya baru saja”, jelasku kepadanya. Pria itu hanya tersenyum kecil. “Apakah seseorang yang Anda maksud seperti di lukisan itu?”, tunjuknya ke salah satu lukisan miliknya. Sesaat aku menatap lukisan wanita bergaun putih. Sungguh cantik dan menawan. “Ya… ya.. itu.. itu dia…!, wanita itu yang tadi bersamaku”, ujarku spontan, sambil jariku masih menunjuk kearah lukisan wanita itu. “Itu adalah lukisan isteri tercintaku. Namanya Tarasari Candrakanti, memiliki arti bunga bersusun yang disinari cahaya rembulan. Kecantikannya memikat semua orang yang menatapnya. Saya sangat mencintainya…”, urainya, namun tiba-tiba ia terdiam sambil menerawang. “Ada apa dengannya?. Ceritakanlah!”, pintaku kepadanya. “Apakah engkau siap mendengarkan kisahnya?”, tantangnya. “Silakan”, jawabku.
“Baiklah. Dulu kami hidup damai, tenteram dan bahagia. Namun suatu hari pasukan kompeni datang ke desa kami untuk mencari seseorang yang dianggapnya ekstrimis. Sang Jenderal yang memimpin bernama Wilhelm Van Siegl. Mereka menggeladah setiap rumah. Termasuk rumah kami. Saat itu…” “What??. Kompeni?”, kalian siapa?”, kupotong pembicaraannya, kesadaranku muncul seketika. “Jangan takut Tiara”, ujarnya menenangkanku. Terbaca olehnya raut wajahku mulai pucat dan gelisah. Akupun tercengang sambil mundur beberapa langkah, sementara lukisan Tarasari Candrakanti seolah-olah tersenyum menatapku. “Jangan takut Tiara…”, ujarnya datar sambil mendekap anak itu. Meskipun aku semakin tak mengerti, namun sepertinya ia ingin menyampaikan kisahnya kepadaku. Akupun berusaha menenangkan diri diantara irama detak jantungku yang semakin tidak karuan.
“Saat itu, Jenderal Wilhelm melihat Candrakanti, dan karena kecantikannya, dia tertarik. Sang Jenderal memaksa Candrakanti untuk ikut dengannya”, ujarnya dengan getir. “Lalu?” “Aku berusaha menyelamatkan dari cengkaraman Jenderal biadab itu. Namun, dengan kejamnya ia menembak puteri kami, Larasari Candrakanti. Akupun tersungkur meraih tubuh mungil yang berlumuran darah itu. Sungguh kejam bajingan itu…”, tuturnya dengan penuh amarah. “Lalu?”, “Sang Jenderal mengarahkan senjata apinya kepada Tarasari Candrakanti. Ia mengancam akan menembaknya jika aku berusaha melawannya. Akupun hanya mampu terdiam, tapi…” “Tapi kenapa?” “Melihat puteri kecilnya terkulai, Tarasari marah dan berusaha merebut senjata api dari bajingan itu. Namun ayal, senjata itu masih mengarah Tarasari. Sesaat terdengar letusan dua kali yang menumpahkan darah orang yang kukasihi. Tarasari Candrakanti jatuh tersungkur dengan darah membasahi gaun putihnya. Kusaksikan kedua peristiwa itu didepanku. Sangat menyakitkan”, tuturnya.
“Oh, my God..! Jadi… yang tadi mengajakku bicara, bahkan memegang tanganku itu adalah dia?”, bulu kudukku merinding. Pria itu tak menjawab, ia hanya melemparkan senyum kecil yang tersungging di bibirnya sambil menatap anaknya. Pun sang anak membalas senyumannya. Mulutku menganga, tak mampu berbicara sepatahkatapun. Kecurigaanku mulai muncul. Perlahan aku mundur dari hadapan mereka dan bergegas meninggalkan mereka tanpa sepatahkatapun. Akupun berlari diantara sekat-sekat ruangan itu. Beberapa orang menatapku dengan wajah kebingungan. Aku tak peduli, yang kupikirkan adalah sesuatu yang tak masuk diakal. “What’s going on here?”.
Aku bergegas untuk menghampiri ruang event organizer yang berada dekat pintu masuk. “Permisiiii…!”, sapaku terengah-engah. “Bisa dibantu Mbak? Ada apa? Silakan duduk”, ujar salah seorang petugas. “Terimakasih. Boleh minta informasi tentang stand pelukis nomor enam belas?, namanya”, pintaku. “Enambelas??”, petugas itu keheranan. “Iya. Enambelas..! Pelukisnya bernama Raden Damar Sukma Djati”
“Mohon maaf. Berdasarkan data kami, stand lukisan yang terisi hanya berjumlah lima belas. Stand nomor enambelas kosong. Selain itu nama yang mbak sebutkan tadi tidak terdaftar dalam peserta pelukis pada event kali ini”, terangnya kepadaku sambil menatap wajahku yang semakin kebingungan. Aku terdiam tak bergeming. Sayup-sayup terdengar suara merdu dari pojok ruangan. “…And tell me now,… How do I live without you… I want to know…”
Klik!. Tiba-tiba gelap pandanganku.
Tamat
Leave a Reply