Warung di Perempatan

Warung di Perempatan

“Sudah jam sembilan malam, Kang,” keluh isteriku resah sambil memandang dagangan yang masih menggunung di kaca etalase.
“Hmm,” gumanku mengiyakan.

Akhir-akhir ini persaingan semakin ketat. Beberapa bulan ini jualan baksoku sepi. Tepatnya sejak warung di perempatan membuka usaha yang sama denganku. Dulu sehari kami bisa menjual ratusan mangkok bakso. Kini separuhnya saja sudah untung.

Memang tak seharusnya menyalahkan orang lain. Sah-sah saja dan tak ada larangan berjualan yang sama dengan pedagang lain. Tapi, aku merasakan ada aroma persaingan yang tak sehat. Bagaimana bisa mereka menjualnya dengan hanya separuh harga?
Ini tak wajar di tengah semakin melonjaknya harga kebutuhan pokok. Daging sapi di pasaran saja harganya sudah naik 30 %, belum harga cabai, bawang putih, daun bawang, seledri, kecap, saos dan juga gas.
Kalau dikalkulasi, kenaikan seluruh bahan baku dan ongkos produksi sudah mencapai 25 %. Sementara mau menaikan harga jual di tengah resesi ekonomi seperti ini jelas tak mungkin. Aku mencoba bertahan dengan harga yang lama. Keuntungannya menurun dratis. Yah, sekedar impaslah.
Tahu-tahu ada warung baru yang berani menjual dengan harga yang jauh lebih murah. Itu diluar logika perhitungan akal sehatku. Kukira hanya upaya sabotase pada sesama pedagang bakso.

Aku mencoba bersabar. Tunggu saja, akan mampu bertahan berapa lama. Paling sebulan sudah habis modal. Tapi, perkiraanku meleset. Jangankan bangkrut, warung di perempatan semakin laris saja. Aku hanya bisa gigit jari.
Penasaran, aku mencari tahu identitas pesaingku. Kubayar seorang mata-mata untuk menyelidikinya. Tapi, sial. Si mata-mata membawa lari uangku. Ia tak pernah kembali dan menghilang begitu saja.

Lewat Pak RT aku mendapatkan sedikit informasi. Namanya Pak Dullah. Pindahan dari Bogor. Insting persaingan membuatku semakin detil menelisik dan mencari-cari kelemahan lawan. Untuk menemukannya kusuruh Parman, pembantuku, membeli semangkok bakso di sana.
Cukup lama aku menunggu. Satu jam kemudian ia balik sambil membawa sebungkus bakso kuah yang masih panas.

“Waduh, Kang. Antrinya… pembelinya berjibum. Laris banget. Antriannya sampai mengular,” kata Parman semakin membuat hatiku panas.
“Nggak usah banyak omong! Kita lihat bagaimana bakso ini bisa hanya separuh harga kita. Pasti ada kelemahan yang bisa kita temukan,” sergahku kesal membungkam kalimat pujiannya. Ya, mungkin baksonya tak memakai daging asli. Bisa saja hanya pakai perisa makanan yang harganya jauh lebih murah.

Begitu bungkus dibuka, bau harum daging bakso tercium kuat, menggoda selera. Kucicipi sedikit kuahnya. Hmm, boleh juga. Kukira Pak Dullah mengunakan sumsum tulang untuk memperkuat cita rasanya. Lidahku bahkan tak merasakan adanya MSG atau perisa apa pun. Semuanya fresh. Kuakui kecerdikannya.

Kucocol sebutir bakso dengan garpu lalu kugigit ujungnya untuk mengetes kekenyalannya. Daging bakso seperti meleleh di mulutku. Kenyal dan empuknya sangat pas. Aku tertegun. Rasa dagingnya sangat mantap. Bahkan, lebih berasa dibandingkan bakso buatanku.

“Gimana, Kang?” tanya istriku penasaran. “Berasa daging atau bukan?”
Aku bingung mau menjawab apa. istriku merebut garpu di tanganku lalu menggigit bakso itu. Matanya terbelalak.
“Ya ampun! Beneran, Kang. Daging beneran,” serunya kaget.
“Hmmh,” aku hanya mampu bergumam.

Kuaduk-aduk bakso untuk meneliti lebih detil. Apa ini? Keningku mengernyit saat mataku melihat potongan daging cincang. Bahkan, ia masih menambahkan beberapa rebusan daging empuk sebagai tambahan. Busyet. Aku melongo.
Tapi, tunggu dulu. Jangan-jangan ini bukan daging sapi, tapi daging celeng. Di pasaran kadang dijual daging oplosan dengan harga yang sangat murah.

Kuambil kaca pembesar untuk melihat tekstur seratnya. Katanya daging celeng bertekstur samar dan jauh lebih renggang daripada daging sapi. Warnanya juga lebih pucat. Tapi, lagi-lagi aku tidak menemukan keanehannya. Atau, barangkali aku yang terlalu bodoh sehingga tak mampu melihat perbedaannya. Haruskah kucek di lab untuk memastikannya. Ah, kukira aku terlalu berlebihan.

Kalah telak 2-0. Bakso buatan Pak Dullah selain lebih murah juga lebih enak dari baksoku. Pantas saja pelangganku kabur ke sana. Tapi, bagaimana bisa? Aku masih belum bisa mempercayainya.

Rasa penasaran yang semakin menderaku membuatku bertindak nekat. Malam itu sepulang dari tahlilan di rumah Mbah Kaum, diam-diam aku mengendap-endap memasuki halaman warungnya. Aku ingin melihat dengan kepalaku sendiri bagaimana mereka mengolah baksonya hingga selezat itu.

Jam sudah melewati angka sebelas. Malam terasa sangat dingin, lebih dingin dari biasanya. Semakin mendekati rumah itu rasa ‘cess’ kian terasa menggigit. Aku bukan orang yang penakut, tapi entah kenapa hari ini rasanya sangat lain. Tengkukku merinding. Bahkan sepertinya semua bulu-bulu halus di tubuhku berdiri. Naluriku mengatakan ada aura mistis yang sangat kental. Mungkinkah mereka bersekutu dengan setan?

Suasana begitu sunyi. Sangat sunyi. Bahkan tak ada bunyi jangkrik, kodok, ataupun suara binatang malam. Serasa berada di ruang kedap suara. Sejenak aku ragu, akan meneruskan langkah atau balik kanan saja. Tapi sepertinya rasa penasaranku lebih kuat dibandingkan rasa takutku. Aku menguatkan hati dan mengabaikan ketakutanku. Kurapalkan doa-doa dan mantera pengusir makhluk halus.

Mungkin sedang beruntung, pintunya sedikit terbuka. Bagaimana bisa mereka seteledor itu? Ataukah, mereka sengaja membukakannya untukku? Ah, tak usaha banyak pikir. Kuikuti saja yang ada di depan mata. Dengan cepat aku menelusup masuk.

Kebetulan langsung menemukan area dapurnya. Lampu dapur yang terang mendadak berkedip-kedip. Jantungku serasa mau copot. Aku sangat kaget. Lututku sampai gemetaran. Apakah mereka sudah melihat kehadiranku?
Kembali mulutku komat-kamit merapalkan doa dan segala mantera. Kutarik nafas panjang untuk menenangkan diri. Ah, pasti hanya soal teknis saja. Bohlamnya mungkin rusak. Dan benar, tak lama kemudian lampu benar-benar padam berganti dengan lampu emergency yang terpasang di pojok dinding. Suasana berubah menjadi remang-remang.

Samar-samar kulihat sebuah pintu besi yang menempel di dinding. Kukira ini ruang freezer raksasa tempat menyimpan daging. Pelan-pelan kudorong untuk melihat isinya. Tengkukku sedikit bergidik menyaksikan banyaknya potongan-potongan daging tergantung berjajar dengan rapi.
Kucoba menyentuhnya. Kusorot dengan senter untuk melihat jenis teksturnya. Dan darahku serasa beku ketika kusadari ini bukanlah potongan daging sapi tapi daging manusia. Bahkan ada beberapa yang masih terlihat lengannya.
Yang lebih mengejutkan di lengan itu tergambar tato kupu-kupu. Sama persis dengan tato mata-mataku yang menghilang. Apakah ini mayatnya? Astaga! Sepertinya pasangan suami isteri Dullah manusia kanibal? Mereka menggunakan daging manusia untuk bahan baku baksonya. Ya Ampun!

Tiba-tiba terdengar suara pintu berdecit. Nyaliku pun menciut. Apalagi saat melihat pintu menutup dan mengunci dengan sendirinya. Ini tak bisa diterima nalar. Agaknya aku sedang berhadapan dengan kekuatan supranatural, jin, setan, dan sebangsanya. Akankah doa dan manteraku bisa mengusir mereka? Entahlah, aku tak yakin.

Lalu terdengarlah suara kekehan tawa. Di hadapanku berdiri Pak Dullah dan istrinya. Tapi, ekspresi keduanya sangat mengerikan. Wajahnya berlipat-lipat lebih tua dari biasanya. Tertawa ngakak melihatku tertangkap basah di dapurnya.
Kapak besar di tangan mereka berkilauan terkena sinar lampu. Membuat nyaliku berada di titik terendah. Aku bahkan tak mampu menahan kencing yang keluar begitu saja. Keduanya berjalan ke arahku, bersiap menyerangku.

“Kau terperangkap di dapur kami,” ujar Pak Dullah, suaranya terdengar sangat parau.
“Kau akan jadi bakso yang sangat lezat esok,” timpal Bu Dullah sambil terkikik senang.
Aku mundur ke belakang. “Kalian gila! Kalian pembunuh!” seruku dengan perasaan campur aduk. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Aku berharap ada orang yang mendengarnya.
“Terserah mau bilang apa. Kami memang bersekutu dengan setan. Kami akan tetap hidup sepanjang minum darah manusia. Kami hanya butuh darahnya saja. Dagingnya kami kembalikan pada manusia. Itulah sebabnya kami membuat bakso. Agar dagingnya tak terbuang percuma,” katanya membuatku ngeri.

Mereka bergerak maju dan mendesakku. Aku mundur sampai ke dinding. Tak ada jalan untuk meloloskan diri. Aku menyesali kenekatanku memasuki dapur mereka. Akankah nasibku sama dengan potongan daging di freezer itu?

Tamat


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *